Pertarungan Terakhir di Semenanjung Karang Boto 

awsnews.id
Ilustrasi/tangkapan layar

Aku tak tahu mengapa mendapat perintah yang berat, hari ini aku harus berangkat menuju medan perang. Tugas yang menurutku sebenarnya tidak mudah ku selesaikan.

Aku senang mendapatkan perintah, kendati ada rasa was-was menyelimuti tubuhku, terasa berat bagai memikul beban tak kasat mata di pundak ini.

Baca juga: Dari yang Tersisa III (bagian tiga)

Apa jadinya jika aku gagal dalam misi ini? Tapi jika aku berhasil akan membuka pintu gerbang membangun dinasti.

                                    ***

Telik sandi mengabarkan pasukan musuh sudah mulai mendekat, dengan persenjataan lengkap, jumlahnya pun berimbang dengan prajurit yang aku pimpin.

Bersamaan dengan itu, pesan singkat Mahapatih telah kuterima. Isinya pun bikin aku terbelalak. ‘Pantang pulang, mati di medan laga lebih terhormat dari pada mati dalam dekapan perempuan’.

"Senopati, sudah waktunya kita bertarung head to head, harga diri kerajaan ada di pundak kamu, dan pasukan kita," pesan Mahapatih.

"Titah paduka akan selalu menjadi penyemangat bagi hamba dalam pertarungan ini." jawabku.

Kemudian Mahapatih membeberkan, beberapa hari lalu dia bermimpi, mendung gelap akan menyelimuti kota ini. Ceceran darah terlihat di mana-mana. Banyak sekali mayat-mayat bergelimpangan. 

Menurut firasatnya akan terjadi perang yang tak dapat dihindarkan. Perang memang harus terjadi, seperti Baratayudha dalam kisah pewayangan. 

Perang untuk mempertahankan harga diri, dari rongrongan pecundang. Maka bersiaplah maju ke medan laga, menangkan pertarungan ini. Menyiapkan pasukan terbaik, sebab musuh sudah di depan mata.

"Ingatlah satu hal, gugur di medan laga lebih terhormat. Jika nyawa jadi taruhannya. Sanggupkah kamu menjalankannya Senopati?” kata Mahapatih 

"Hamba siap Mahapatih, jangan ragukan kesetiaan hamba, nyawa hamba taruhannya. Semoga tidak mengewekan Baginda Raja. Hamba lebih baik mati dari pada baginda raja murka, karena murka "sang pemurka" Baginda Raja melebihi letusan Gunung Tambora. Hamba siap laksanakan perintah, karena perintah adalah tuan bagi hamba." Beberku 

Lalu Mahapatih menyemangati, aku harus yakin, mampu melaksanakan tugas ini. Karena itu, dia mengimbau agar menemui ibu sebelum berangkat ke medan perang.

Menurutnya, restu ibu adalah kemenangan, sekaligus ia menitipkan salam buat ibu. 

“Tugas ini harus berhasil, menang harus di raih, pantang pulang sebelum menang.” semangatku

Baca juga: Dari Yang Tersisa IV (bagian IV)

“Selesaikan tugas mulia ini, berjanjilah, pulang dengan membawa kemenangan. “Pesan ibu, yang selalu teringat dalam hatiku.

Dalam benakku aku masih berpikir, mengapa harus aku menyelesaikan misi ini? Bukankah, banyak Senopati lain yang lebih berpengalaman dan sangat pemberani.

Entahlah, tapi aku harus berangkat mengangkat pedang, berperang demi Kerajaan dan membawa misi kemenangan. 

                                     ***

Terompet sudah berbunyi, penanda perang segera dimulai, pasukan berkuda yang disiapkan paling depan sudah bersiap menyerang. Begitu pula dengan pasukan panah dan lainnya siaga menunggu aba-aba.

“Majuuuu…!!!” perintahku pada pasukan.

Perang dimulai, pertumpahan darah berlangsung sengit, di langit nampak burung gagak jadi saksi jeritan yang menyayat hati.

Musuh kini mulai terdesak, mundur kocar kacir menahan gempuran pasukanku, mayat-mayat mulai bergelimpangan, tersayat pedang, panah dan tombak yang menancap di tubuh mereka.

Baca juga: Dari yang Tersisa IV (bagian tiga)

                                    *** 

Sore hari, kabar kemenangan sudah sampai di kerajaan. Senyum kemenangan, tersirat di bibir pasukanku, pesta kemenangan tersaji sampai larut malam.  

Sementara aku hanya bisa duduk termenung, hatiku menjerit, ada luka dan pilu di balik kemeriahan pesta ini. 

Sebenarnya aku ingin mundur sebagai Senopati, niat itu sudah lama ku inginkan, tapi sebelum ku utarakan maksud itu. Aku selalu mendapatkan perintah menghentikan gerakan makar. 

Gerakan makar atas ketidak puasan jabatan dan nafsu ingin berkuasa. Dan saat ini aku harus bertarung dengan teman sendiri, saling menghunus pedang, adu kekuatan dan saling membunuh tanpa rasa kasihan.

Aku berjanji setelah tiba di Kerajaan, akan menggantungkan pedangku, mundur dari jabatan Senopati, dan hanya akan berperang jika Kerajaan diserang pasukan dari luar, bukan karena gerakan makar yang dibangun oleh kekuatan internal atas ketidak puasan.

Tapi biarlah hari ini ku ucapkan syukur pada Sang Hyang Widi, dengan kemenangan ini, akan ku tunjukan kepada dunia, kami bukan pecundang, kami adalah bangsa yang mulia.

"Dan biarkan dinasti ini tegak berdiri, kendati aku tak menikmati manisnya. Aku akan menjadi orang biasa, yang serba kecukupan, tak ingin terlibat intrik dan perebutan kekuasaan lagi." kata ku dalam hati.

Editor : awsnews.id

Politik & Pemerintahan
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru