Tampak lusuh sekali wajah Rimba di sore hari ini. Ditambah redup sinar mentari seolah menjadi tanda adanya persoalan yang mengganjal di hatinya. Tidak hanya itu profesi Rimba yang juga sebagai wartawan kena imbas pula, hingga kurang optimal dalam memberikan hasil peliputan.
Rimba sudah lama menggeluti dunia pewarta, bahkan ia pernah mendapat tugas meliput peristiwa besar ke beberapa daerah, seperti demo buruh, pemiluhan gubernur, penangkapan teroris dan demo mahasiswa yang bentrok dengan aparat.
Awal mula Rimba memilih profesi sebagai jurnalis, bermuara hubungannya dengan Nita. Setahun sudah mereka menjalani jalinan jarak jauh. Tapi kedunya bisa membagi waktu dalam jangka satu bulan atau dua bulan.
Setidaknya dua hari kebersamaan bisa menghilangkan segenap kerinduan dihati mereka.
Lambat laun Rimba sadar bahwa hubungan jarak jauh memakan segenap jiwa raga, baik fikiran, tenaga juga berimbas ke masalah finansial. Maka dari itu, ia memutuskan ajakan seniornya magang sebagai alternatif mencari pengalaman dan sekarang sudah teken kontrak di perusahaan itu.
Saat ini, Rimba berpikir hubungannya dengan Nita sudah diambang kehancuran, informasi yang diterima dari temannya bahwa kekasihnya itu akan menikah bulan depan.
Hatinya Rimba pedih, perih! Hampir membuatnya stres. Untung saja dia berhasil keluar dari tekanan itu, menepihkan masalah ini, memainkan akal sehatnya bekerja secara profesional walau sesekali menjadi batu sandungan.
***
Baca juga: Dari yang Tersisa III (bagian tiga)
Suara alarm di HP Rimba terdengar keras, ia baru sadar hari ini ia harus ke datang ke kantor menemui pimpinannya.
Rimba mendapatkan tugas untuk mengikuti seminar jurnalistik. Maka ketika semua bekal sudah beres, ia segera melaju ke kantornya mengambil berkas kelengkapan termasuk akomodasi.
Tiba di sana, ia segera menuju ruang pimpinan. Setelah berbincang beberapa menit, akhirnya Rimba izin berangkat.
"Hati-hati di jalan," kata pimpinan kepada Rimba.
"Siap pak, mohon doanya semoga lancar," jawab Rimba.
Setelah itu, Rimba menuju bandara naik taxi online. Beberapa kali ia menghubungi kontak Nita.Namun lagi-lagi telpon dari Rimba tidak nyambung.
Bukan kali ini saja nomer Nita itu tidak bisa dihubungi. Akan tetapi sejak beredar kabar kekasihnya akan segera menikah.
Rimba ingin memberitahukan bahwa saat ini dirinya berangkat ke Jakarta untuk berjumpa dengannya, sekaligus menjalankan tugas kantor.
Ia hanya ingin mendapatkan kepastian Nita sudah menikah atau masih menjadi kekasihnya.
Baca juga: Dari yang Tersisa III (bagian II)
***
Baca juga: Dari Yang Tersisa IV (bagian IV)
Sesampainya di Bandara Soekarno Hatta, Rimba langsung menuju kawasan Teluk Naga. Ia ingin bertemu Niita, menanyakan sebenarnya bahwa dirinya sudah jadi milik orang lain atau tidak?
Mentalnya sudah siap jika realita tidak memihak. Ia tidak bisa menerima begitu saja atas kepergiannya.
Setiap saat batinnya histeris tanpa diketahui siapapun, membayangkan keperawanan Nita dilahap secara sah oleh sang suami.
Setelah tiba ditujuan, Rimba tanpa ragu mengetuk daun pintu dibarengi ucapan salam. Ketika pintu terbuka tampaklah wajah yang tidak asing, Nita nongol di depan matanya.
Lalu Keduanya sama-sama kaget tanpa ada suara. Tiba tiba Nita menangis, seolah ada suatu penyesalan melanda perasaannya.
Kemudian tanpa ragu dipeluklah tubuh Rimba dengan erat. Namun ia tidak membalas, ia berpikir masa lalu tinggal kenangan. Nita sudah merapat kepelukan orang lain.
Rimba berlahan melepaskan pelukan Nita ditubuhnya, kini hanya nyanyi sunyi menerjemahkan suasana hati mereka yang tak beraturan.
Rupanya Nita dapat membaca pikiran Rimba, sementara dirinya grogi tidak tahu harus berbuat sesuatu. Hanya ada rasa bersalah terasa meronta.
Bagi Nita, saat ini waktu yang tepat menjelaskan sebenarnya. Sambil berharap bahwa Rimba mengerti dengan semua ini. Sebelum melontarkan kata katanya. Nita menyempatkan menatap sayu bola mata Rimba.
“Ada sedikit persoalan pada hubungan kita selama ini. Aku mengakui letaknya bermuara padaku. Jika takdir memihak pada kita! Niscaya semua impian jadi kenyataan.” kata Nita pasrah
Rimba menatap wajah Nita lalu menerjemahkan kata-katanya. Dari yang disimak, ia meyakini bahwa Nita masih kekasihnya.
“Cuman aku kasihan sama kamu! Kau belum tahu siapa aku sebenarnya. Hidupku mungkin boleh dikatakan sudah hancur, sedangkan dikau mampu menyelamatkan dari jalan tidak benar.” tambah Nita.
Sementara air matanya masih terus mengalir. Rasa sayangnya terhadap Rimba tetap utuh, kokoh nan kekar bagai tembok raksasa China. Tanpa pernah mencoba memalingkan wajah.
Sementara Rimba mengerti maksud Nita. Sudah kepalang, niat bersamanya tidak akan mengendor, dari awal sudah berkomitmen dengan konsekuensi apapun.
Memang sedikit terasa sakit baginya, tapi bila kenyataan mengatakan demikian. Apa boleh buat, Rimba harus berpikir bijak karena tidak mudah meninggalkan semua ini.
“Aku tidak akan mempermasalahkan itu. Walau sehancur apapun hidupmu!” ujar Rimba di tengah batinnya yang bergemuruh.
“Tapi Ini terjadi ketimpangan! Iya, kalau kamu ikhlas menerimaku? Sedangkan manusia itu sifatnya mudah berubah karena beberapa faktor." sergah Nita
"Selain itu ada kendali sangat krusial menjegal hubungan ini.” beber Nita.
Rimba menutup mata, seolah enggan melihat wanita di depannya. Ia menganggap Nita tidak konsisten, apalagi sempat mengisukan akan segera menikah dengan lelaki lain.
Kemudian disusul lagi dengan alasan kurang jelas. Sehingga ia berpikir, apa betul wanita itu plin plan, banyak bohongnya? Mudah kena tipu akibat bujuk rayu? Ingin dimengerti!
Setidaknya ini sebagai referensi sementara bagi Rimba, melihat pola pikir Nita belakangan berubah ubah bagai bunglon.
Namun yang tidak diketahui Nita, bisa saja Rimba saat ini meninggalkannya, menenggelamkan semua kenangan kedasar Selat Madura ataupun ke Selat Sunda. Dimakan aneka ragam penghuninya.
Namun, hal itu dianggap sempit dan jumud secara pemikiran oleh Rimba.
Maka dia ingin menegaskan, jalinan asmaranya masih berlanjut atau tidak? Keputusan akhir itu tidak begitu dirisaukan. Meski hatinya tergunting mengeluarkan darah akibat tidak berlanjut cerita indahnya.
Dia diburu waktu segera datang ke pelatihan jurnalistik. Ia ingin menjawab kepercayaan bos nya ditugaskan kepadanya.
“Mungkin kau meminta segera mengakhiri hubungan ini, menilai beberapa alasanmu. Bagiku tidak ada masalah! Aku mencintaimu tidak banyak menguntungkan.” tegas Rimba
Mendengar pernyataan itu, Nita menatap wajah Rimba tanpa berkedip. Saat ini ada kebimbangan menggerogoti organ tubuhnya.
Dia menilai bahwa ucapan Rimba jadi ancaman serius. Sedangkan dirinya berat hati meninggalkan semua ini.
Sebab, bagaimanapun Rimba adalah segalanya. Banyak hikmah bisa diperoleh Nita yang jadi acuan dalam beraktivitas keseharian.
Rimba terpaksa menegaskan hal itu. Saat ini adalah waktu yang tepat mengevaluasi sampai keakarnya, banyak sudah kesalahan dilakukan oleh Nita. Tapi ia sendiri kurang menyadarinya.
Nita hanya tertunduk, ada butiran air mata bergelimpangan menerpa pipinya tanpa ada isak. Sementara Rimba beranjak pergi tanpa meninggalkan sepatah kata.
Namun, Langkahnya terhenti ketika tangannya ditarik dari belakang. Saat menoleh terlihatlah wajah sendu Nita.
Dari mulutnya terlontar bahwa dirinya masih setia. Sambil menjelaskan, isu tentang pernikahan nya itu tidak benar. Hanya untuk menguji kesetiaan Rimba.
Nita kemudian memeluk tubuh Rimba, sangat erat, seolah tidak sanggup melepaskan. Dan air matanya pun tumpah lagi.
Lalu Rimba menghapusnya sembari membelai rambutnya dan memberikan ciuman tipis di bibir Nita. Kendati begitu dia harus beranjak pergi sekaligus berjanji akan menemuinya kembali.
"Aku pergi dulu menyelesaikan tugas, setelah itu aku kembali ke sini lagi. Percayalah bahwa aku tetap setia dengan janji yang telah kita ucapkan," tegas Rimba
Setelah itu, Nita melepaskan pelukan nya, ada perasaan lega di hatinya. Ia berharap hubungan nya kekal bersama Rimba kendati terpisah jarak dan waktu.
November 2007, Revisi Oktober 2023
Editor : awsnews.id