AWSNews.id, Surabaya - Kesunyian malam dipecahkan suara angin yang menyibak daun pepohonan, utamanya pohon jati. Dan beberapa helai daun yang sudah berubah menjadi warna cokelat yang tidak kuat bertahan di tangkainya, kini sudah mulai melayang berjatuhan ke tanah.
Kesatria dari timur, bersama teman-temannya berlahan setapak demi setapak berjalan menuju Goa Macan yang berada dibalik Air Terjun Kayangan, Desa Tirtomoyo Wonogiri.
Baca juga: Dari yang Tersisa III (bagian tiga)
Di sekeliling terdengar suara burung hantu saling bersahutan di tengah malam yang pekat. Membuat malam semakin beraroma mistik. Namun tiba-tiba ada suara yang menyapa mereka terdengar secara tiba-tiba.
"Kisanak mau kemana?" tanya seorang, yang kelihatannya sudah sepuh.
Kehadiran orang tua itu, mengagetkan kesatria dari timur dan teman-temannya.
"Saya mau ke pasujudan di atas sana tuan, menghadap Gusti." jawab kesatria dari timur.
Sang kakek pun menangguk, seolah mengerti akan keinginan kesatria dari timur.
"Jika Kisanak mau ke puncak, saya hanya berpesan agar Kisanak terlebih dulu menjumpai Selo Betek sebuah bongkahan batu besar yang menyerupai serambi," katanya.
Usai bicara kekek tersebut tiba-tiba hilang entah kemana? Kesatria dari timur bersama teman-temannya tercengang, namun tak beberapa lama akhirnya kesatria dari timur berangkat sendirian menuju tempat pesujudan tersebut.
***
Tampak tiga orang duduk bersila di bawah Selo Betek, satu seorang Resi dan dua orang Cantrik bersila, mereka bersemedi dengan khusyuknya.
Setelah memberi salam, kesatria dari timur memperkenalkan dirinya serta meminta izin, tentang maksud dan tujuannya.
Akhirnya, kesatria dari timur beserta diantar oleh Cantrik, melanjutkan perjalanan menuju Goa Macan.
Sesuai titah Suhu Ki Sabdo Pulungan, nanti setelah berjalan menaiki anak tangga. Maka, akan menjumpai sekelebat bayangan hitam di Selo Penangkep.
Yaitu celah yang diapit oleh dua batu besar, disitulah kesatria dari timur disuruh menghentikan langkahnya sejenak.
"Mari Kisanak, kita sucikan dulu dengan membasuh air telaga bidadari agar nantinya kita bisa masuk ke dalam goa, "tutur Ki Anom Cantrik Resi Begawan.
Selesai mensucikan diri, dengan dibimbing kedua Cantrik kesatria dari timur melanjutkan perjalanannya menuju Goa Macan.
Di bawah cahaya bulan purnama. Tampak jelas air terjun kayangan. Kesatria dari timur terus melangkah menuju goa, tekadnya sudah bulat ia ingin bermunajat kepada Gusti (Allah). Kendati udara terasa begitu dingin.
Tiba tiba, ia mendengar tabuhan suara gamelan, jauh kedengarannya. Tapi terasa dekat, gamelan itu diiringi tembang Wahyu Kolosebo.
rumekso ingsun laku nisto ngoyo woro kelawan mekak howo, howo kang dur angkoro senajan syetan gentayangan tansah gawe rubedo hinggo pupusing jaman
Baca juga: Dari Yang Tersisa IV (bagian IV)
hameteg ingsun nyirep geni wiso murko meper hardaning ponco saben ulesing netro linambaran sih kawelasan ingkang paring kamulyan sang hyang jati pengeran
jiwanggo kalbu samudro pepuntoning laku tumuju dateng Gusti dzat kang amurbo dumadi manunggaling kawulo Gusti krenteg ati bakal dumadi mukti ingsun tanpo piranti
sumebyar ing sukmo madu sarining perwito maneko warno prodo mbangun projo sampurno sengkolo tido mukso kolobendu nyoto sirno tyasing roso mardiko
mugiyo den sedyo pusoko kalimosodo yekti dadi mustiko sakjroning jiwo rogo bejo mulyo waskito digdoyo bowo leksono byar manjing sigro sigro
ampuh sepuh wutuh tan keno iso paneluh gagah bungah sumringah ndadar ing wayah wayah satriyo toto sembodo wirotomo katon sewu kartiko ketaman wahyu kolosebo
memuji ingsun kanthi suwito linuhung segoro gondo arum swuh rep dupo kumelun ginulah niat ingsun hangidung sabdo kang luhur titahing sang hyang agung
rembesing tresno tondo luhing netro roso roso rasaning ati kadyo tirto kang suci kawistoro jopo montro kondang dadi pepadang palilahing sang hyang wenang
nowo dewo jawoto talisantiko bawono prasido sidikoro ing sasono asmoro loyo sri narendro kolosebo winisudo ing gegono datan gingsir sewu warso
Kesatria dari timur berhenti, dia mencari tahu dari mana asal tetabuhan itu. Aneh, suara itu tidak bisa dideteksi keberadaannya. Suara itu, seolah olah ada di tiap-tiap penjuru.
Tanpa pikir panjang, ia langsung masuk ke Goa Macam, yang menganga di depannya. Kemudian ia duduk bersila.
Baca juga: Dari yang Tersisa IV (bagian tiga)
Lalu memuji keagungan Gusti (Allah). Namun tabuhan gamelan, beserta tembang Wahyu Kolosebo semakin ramai didengar. Memenuhi ronga rongga goa.
Kesatria dari timur meresapi, tiap bait, tiap kata. Ada rasa tentram mendera jiwa nya. Jiwa yang selama ini selalu kering, jauh dari laku suci, dan menjauh dari Gusti.
Tanpa terasa air matanya pun berjatuhan. Air mata penyesalan. sadar, bahwa hidup nya selama ini untuk hal yang negatif.
Momen di Goa Macan ini, merupakan pertarungan segenap jiwa raganya, pertarungan antara hitam - putih. Pertarungan batin, pertarungan mengubah segala kekelaman menjadi kejernihan.
Meninggalkan perkara buruk, membersihkan segala keangkuhan, kesombongan, khilaf yang selama ini bersemayam pada jiwa busung nya.
Kini, ia berjanji akan meninggalkan pola hidup nya yang negatif menuju jalan kebenaran.
Bahkan ia berjanji Tidak akan mengulangi kembali masa lalunya yang kelam, dimana perkara mudharat selalu menjadi kebanggaan.
Bangga hanya untuk dirinya, tapi tak bermanfaat bagi orang lain, menuruti hawa nafsu mengejar duniawi hingga membutakan mata hatinya.
Kini ia baru sadar, semakin mengejar duniawi maka hidup tidak tentram. Karena menimbulkan keserakahan, ketidak puasan, merasa kurang, dan selalu ingkar tidak menyukuri pemberian Tuhan.
Editor : awsnews.id