Negeri Orang

awsnews.id
Ilustrasi/net

Surabaya,AWSNews.id - Semuanya sudah beres, barang barang keperluan selama dalam perjalanan juga yang ingin kubawa ke kampung halaman Tidak ada satupun tercecer, terbungkus rapi dalam cover.

Sepanjang perjalanan aku harus waspada. Pasalnya aku bagian dari TKI ilegal. Kendati pada awalnya menggunakan dokumen resmi. Tujuannya tiada lain mencari penghasilan berlebih untuk menyejahterakan diri.

Sebab di negeri orang ini, banyak menyediakan lahan pekerjaan tak terhingga tanpa harus berbekal kompetensi hebat.

Ratusan hingga rubuan masyarakat berduyun duyun merantau lantaran ingin mengubah nasib mereka yang pada miskin. 

Tanpa terkecuali diriku, hanya lulusan SMP hidup pun di desa, tak berpenghasilan pula. Apalagi menanggung beban hutang duapuluh dua juta.

Bayangkan, uang sebesar itu didapat dari mana melunasinya? Bila tidak memaksakan merantau, mencari kerja ke negeri orang. Walau sebenarnya hanya menjadi kuli bangunan.

Namun upahnya sangatlah besar, bila di kurs dengan uang negaraku. Persetan dengan kata ‘lebih baik hujan batu di negeri sendiri, ketimbang hujan emas di negeri orang’. Itu tak ubahnya, hanya pelipur lara. Karena pemerintah tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya.

Pertama menginjakkan kaki di negeri orang seolah tidak menemukan satu hal asing. Mengingat saya sering mendengar cerita dari kawan, sanak famili yang pernah jadi TKI.

Cuma saya butuh adaptasi sedikit, berbaur dengan beberapa para perantau yang baru aku kenal.

Aku pun bersyukur langsung berkumpul dengan sanak famili. Jadi adaptasi dengan bahasa setempat tidak mengalami kesulitan. Hingga nama benda yang ada hubungannya dengan alat alat pertukangan mudah dihafal.

Hari hari yang kulalui selama bekerja, dilalui dengan senang hati dan semangat. Karena aku berkeinginan cepat melunasi tanggungan hutang. Sedangkan kuncinya, terletak pada keuletan semangatku. 

Selain bekerja keras, aku juga ikut membeli (kupon) nomer atau togel secara sembunyi. Pasalnya di negeri orang ini  terdapat larangan khusus bagi penganut ajaran tertentu dan berharap bisa menghasilkan banyak uang.

Tidak tanggung-tanggung sekali nombok saya kadang membeli 7 – 10 pasang nomer melalui metode membolak balikkan pasangan nomer secara acak.

Namun tak semuanya berhasil, tak semudah harapan. Beberapa kali saya nombok ternyata hasilnya nihil. Kadang angka di depan salah, adakalanya pula angka di belakang kurang satu biji atau lebih satu biji.

Ah, sial……..! Namun, saya tidak menyerah! Dalam seminggu, aku tetap membeli kupon nomer, untuk menomboknya.

Anggap saja, beberapa kali kegagalan merupakan nasib yang belum merapat ke arahku. Oleh karenanya semangatku untuk menombok togel itu semakin membuncah.

Kali ini memakai metode yang pernah dilakukan oleh teman tatkala memperoleh hasil besar. Kendati begitu, hampir sebulan belum ada untung maksimal. Selalu gagal, tak memperoleh hasil apapun.

Aku berpikir mungkin suatu saat semuanya akan jadi nyata? Hasil tombokan memuaskan. Bisa membayar hutang besar sebagian lagi buat menaraktir kawan.

Selain itu, aku juga memakai tafsir mimpi untuk disingkronkan dengan kamus mimpi terkait hal tersebut. Lalu membolak balikkan angkanya. Sedangkan metode lama mengotak ngatik angka yang keluar sebelumnya.

Nah, siapa tahu ketika dua metode ini aku gunakan. Maka hasilnya menguntungkan.

Tak terasa saya sudah sampai di salah satu Stasiun Bus, sesuai arahan tekong yang memfasilitasi kepulangan kami ke tanah air. Aku disuruh menghubungi kontak personal yang sudah menunggu di sekitar stasiun.

Mereka ditugaskan menjemputku untuk dibawa ke tempat penampungan sementara.

Ternyata, orang yang menjemputku telah menunggu di luar stasiun menggunakan  Taxi. Melalui bahasa isyarat aku disuruh cepet bergegas mumpung situasi aman.

Karena  jalan yang kami tempuh, merupakan jalur gelap. Bila terendus, akan berurusan dengan aparat negeri orang ini.

Aku segera bergegas sesampainya di dalam Taxi, ternyata terdapat wanita berumur kurang lebih empat puluh tahunan. Tanpa banyak Tanya, Taxi pun melaju membawa kami ketempat penampungan sementara.
                                  ***

Sesampainya di tempat penampungan, saya merasa asing dengan suasanya. Betapa tidak, kami disembunyikan dibalik rerimbunan ilalang. Tinggi ilalang tersebut bisa disejajarkan dengan rumah.

Seolah tidak ada kehidupan apapun disekitar, yang nampak hanya tumbuhan belantara. Kami hanya berdua, sementara wanita yang bersamaku tampak gemetar, ketakutan. Maka untuk mencairkan suasana lalu saya menyapanya.

“Kesini Mbak, duduk di dekat ku!” Tanpa pikir panjang, wanita tersebut merapat, lalu kami saling memerkenalkan nama masing masing.

“Mat Medan.” Kata ku, lalu ia juga memerkenalkan namanya, ‘Siska’ berasal dari NKRI bagian timur.

Selanjutnya kami berbincang panjang lebar untuk sekedar menghangatkan suasana.

Sementara Siska tampak mulai tenang, tidak waswas, dan rasa takutnyapun mulai hilang.

Tanpa sengaja mataku melihat sisa kardus. Lalu aku mengambilnya, lumayan buat alas duduk berdua maupun merebahkan tubuh di tengah lindungan ilalang dan hutan rimba ini.

Kurebahkan tubuhku diatas kardus, lalu aku memanggil dan memberikan aba aba agar Siska mendekat kearahku.

Ia pun melangkah, tanpa banyak pertimbangan walau kelihatannya  ada sedikit keraguan, ia pun mulai duduk didekatku yang tidur terlentang.

Tanpa sungkan, Aku menyuruh agar tidur disebalahku pula. Ternyata ia menurut saja dan seterusnya aku tak bisa menggambarkan apa yang terjadi. Kami bergelut dengan suasana hening. Alam sekitarpun hanya menjadi saksi bisu.

Dan ketika semuanya selesai. Kami dikejutkan oleh suara gaduh dadakan, rupanya ada yang datang.

Ternyata ada rombongan orang lain yang dagang, para orang rantau juga yang ingin pulang kampung dan keberangkatannyapun juga memakai jasa tekong melalui jalur gelap.

Hingga menjelang sore, jumlah kami bertambah, hampir mencapai seratus orang. Dan beruntunglah diriku,  karena mendapatkan kenalan wanita lain.  Ia masih muda berumur diatas dupuluh tahunan.

Komunikasi kami semakin akrab, kendati kami baru  kenal. Ia memerkenalkan namanya Indah. Iya, Indah seindah nama nya juga orang nya. Dan Sebentar lagi, mentari akan segera dilahap oleh gelapnya malam.

Sepertinya kami akan bermalam di balik rerimbunan ilalang ini. Tiada mengapalah, bukankah kami sudah terbiasa tidur di tengah hutan, mencari aman, dari sergapan aparat. Melawan dingin dan ancaman binatang buas. Maklum, kami tidak dilengkapi oleh dokumen resmi.

Sementara malam sudah mulai menyapa. Membuat pandangan mata terbatas, melihat suasana sekitar. Kami mulai sibuk, berpencar mencari tempat tidur paling aman.

Namun, kami tetap waspada, khawatir terjaring operasi gelap aparat negeri orang ini.

Aku masih santai, tidak terburu buru, berbincang  dengan Indah. Rencananya nanti aku ingin beristirahat dengannya. Menikmati malam, penuh keintiman tanpa ada yang tahu.
                                   ***

Waktu telah beranjak meninggalkan petang. Suasana sepi sudah menggerayanggi. Tak ada seorang berkomunikasi. Barangkali mereka capek? atau bahkan enggan untuk sekedar melakukan aktivis perbincangan.

Mengingat betapa pekatnya malam ini. Melihat tangan saja nyaris tidak terlihat. Sementara mataku, belum bisa tertidur, pasca begini - begitu.

Adapun Indah, matanya sudah terpejam mulai tadi. Saya tidak tahu, sekarang menunjukkan jam berapa? Kami tidak berani menyalakan cahaya secercah pun. Takut ada operasi gelap.

Kami ibaratkan buronan, tiap melangkah harus hati hati. Harus menunggu komando dari orang kepercayaan tekong. Sampai sekarang mereka belum ada menjemput kami. 

Mataku sudah tidak bersahabat. Rasa kantuk mulai keenakan mengandrungi mata. Namun sebelum lelap dalam mimpi. Ada suara mencurigakan menghampiri kami. Kami sempat dibuat kaget, hampir lari.

Akhirnya kami tahu, bahwa yang datang merupakan orang yang mengomendani kami sebagai penunjuk jalan. Kami segera mengemasi barang barang. Kemudian mengikuti arahan dia.

Kami berjalan menelusuri semak semak. Berjalan saling memegangi baju kawan yang ada di depan. Kami sangat hati hati melangkah. Menghindari segala kemungkinan hal merugikan.

Hingga akhirnya, perjalanan kami berhenti pada suatu tempat, disitu sudah ada mobil menjemput. Bagai sesosok tawanan, kami segera diperintahkan naik ke dalam mobil.

Informasi yang dikabarkan, bahwakami akan dibawa ke kawasan salah satu sungai dan selanjutnya akan meninggalkan wilayah sungai lainnya.
 
Dalam pikiranku, sebentar lagi kami akan segera meninggalkan negeri orang. Menuju bangsa kami, besar katanya, kaya lagi, dan pemerintahannya ‘oleh dan untuk rakyat’.

Namun, Perkiraaanku meleset, tak selancar bayanganku. Kami masih diasingkan di hutan, harus main kucing kucingan dengan aparat.

Katanya ditempat penyebarangan sungai lmenuju Pulau Batam, masih ada operasi gelap. Menyebabkan kami bersembunyi di hutan. Menunggu jemputan lagi.

Kami pun seolah dihinggapi kesuraman, menunggu kepastian kapan berlabuh di pangkuan ibu pertiwi. Berkumpul lagi sama keluarga, bersama kawan di kampung dan beberapa kenalan lainnya.
                                  ***

Tak terasa sudah 4x24 jam kami terasingkan dalam hutan. Suka duka kami lalui bersama. Betapa tidak, kami harus berjuang bertahan hidup.

Pun juga menghindari operasi gelap aparat negeri orang. Kami kelaparan, dahaga hanya makan - minum sekali selama 1x24 jam. Itupun yang kami minum hanya segelas air mineral dan sebungkus nasi.

Itu tidak bisa mengenyangkan, tiada pula menghilangkan dahaga. Penjualnya tidak pernah kami kenal. Satu hari sekali datangnya, tepatnya disiang hari bolong.

Setelah itu, ia menghilang entah kemana? Hilang bersama perut kami, yang masih lapar dan dahaga! Hingga saya dan beberapa kawan, secara sembunyi mengembara dalam hutan, mencari air layak minum dan makanan.

Kalau dapat makanan dan minuman, kami bagi makan bersama, seolah merayakan kemenangan. Namun itu sesaat, karena kami masih memikirkan nasib masing masing. Kami seolah buronon, yang akan ditangkap dan hukuman sangat berat. 

Sebentar lagi, malam akan menyapa, sebagaimana aktivitas sebelumnya. Kami disibukkan mencari tempat nyaman beristritahat. Terlindung dari binatang berbisa, bahkan serangga penghisap darah.

Kami sudah mulai berpencar. Sementara binatang malam sudah bersahutan mendendangkan lagu ke kompakannya. Kian malam, nyanyiannya makin sepadan. Melambungkan angan, menerobos jauh ke masa lampau. Saat menangung hutang 20 jutaan di kampung halaman.

Punya tanggungan hutang sebanyak itu, sangat menggelisahkan, hampir membuatku tidak bisa tidur. Terus berfikir memutar otak, bagaimana caranya bisa melunasi semuanya.

Tidak mungkin, aku bisa melunasi, jika tidak berangkat ke negeri orang. Jadi TKI ilegal walau tiap hari selalu waswas tatakala sedang bekerja.

Kami Khawatir diringkus, dijebloskan ke dalam penjara oleh aparat. Sambil berharap dijatuhi hukuman ringan. Lebih celaka lagi, bila kita terkena hukuman pukulan rotan di pinggul yang sakitnya tiada tara.

Sementara negera kita, belum bisa menyerap dan menyediakan banyak lapangan kerja. Jangankan menyediakan, adakalanya yang sudah jadi lahan nafkah hidupnya digusur, diberangus, luluh lantah tiada tersisa. Dengan alasan penertipan dan sebagainya. Maka, kuberanikan berangkat ke negeri orang ini. Ketimbang melakukan urban untuk melunasi hutang.

Tindakan ini, banyak dukungan dari kawan. Kata mereka, ‘jika engkau bertahan di negeri ini, tidak mungkin engkau dapat melunasi hutangmu!’ Malah prediksi mereka, bisa menambah hutang, karena pemasukan kering, pengeluaran banyak.

Kalaupun dapat pekerjaan, berapa upah yang didapat? Mungkin hanya cukup makan, tidak bisa menabung, atau bahkan ludes sebelum bayaran lagi. Dan berhutang lagi kepada orang lain. 

Apalagi tingkat pendidikan ku, sangat rendah. Tidak bisa melanjutkan ke sekolah lebih tiggi. Lantaran, jarak nya jauh, orang tua kahwatir, tidak kuat bayar transportapalagi bayar SPP.

Menyebabkan, saya tetap berpendidikan rendah dengan menyandang pemuda desa, tidak mendapatkan pekerjaan. Miris, jangankan diriku, tingkat pendidikannya rendah. Seorang sarjana pun sulitnya juga minta ampun untuk mendapatkan pekerjaan.

Hal ini, sampai disematkan dan digambarkan oleh Iwan Falsh, dalam syair lagunya ‘Sarjana Muda’. Oh, betapa nestafanya negeriku. 

Mengharuskan rakyatnya pergi merantau menjadi TKI, untuk sekedar mendapatkan kelayakan hidup. Kendati negeri sendiri, punya segalanya; lautan luas, tanah subur, pepohonan berbuah, tambang dan sumber daya alam lainnya.

Tapi sayang, semua itu tidak bisa menyejahterakan rakyatnya! Lalu kenapa bisa terjadi begini? Salah siapa? Akhirnya aku pun memilih memejamkan mata, ketimbang mencari jawabannya. Percuma, toh tetap saja kami hidup seperti ini.
                                  ***

Sekitar jam dua dini hari, kami dijemput kembali oleh orang yang tidak dikenal lagi. Mengomando kami berjalan menelusi hutan pekat, menuju sungai penyebrangan.

Di sungai itu, nantinya kami akan menyeberang ke Pulau Batam.

Berikutnya, menuju kampung halaman masing masing. Berpisah dengan kawan kawan, yang selama empat hari bersama berjuang dalam rimbanya hutan. 

Sebagaimana gerak langkah kami sebelumnya, kami berjalan hati hati. Menyibak belukar melangkah dengan pelan.

Medan kali ini agak sulit. Pandangan kami juga terbatas, kami hanya dibekali senter kecil, cahayanya minim. Kendati begitu, kami bisa melalui halangan - rintangan, melaju bagai busur panah yang tidak bisa dikendalikan. 

Tiba disuatu tempat, kami dijemput menggunakan mobil box. Kami suruh berdiri menghadap kedepan, membentuk barisan panjang ke belakang. Saling memegangi pundak kawan kami di depan.

Dalam mobil, suasana sangat pengap, tidak ada udara menyatroni. Sementara salah satu kawan kami selalu mengoceh, marah, panik dengan suasana terisolasi.

Belum lagi bau tak sedap, datang dari tubuh kami. Maklum, sudah beberapa hari tidak disentuh air. Namun apaboleh buat, beginilah perjuangan kami bila jadi TKI Ilegal, merantau ke negeri orang. Berencana mengubah nasib. Keluar dari bangsa kami, bangsa yang besar.

Beberapa jam perjalanan. Kami tiba disuatu penampungan lagi. ‘Kata orang’ ini penampungan terakhir, sebelum menyeberang  ke Pulau Batam.

Kami tersenyum mendengar itu. Maklum, semua pada jenuh menunggu kepastian, kapan bisa menyeberang. Meninggalkan negeri orang, menyisakan berbagai pengalaman pahit atau manis.

Berinteraksi dengan berbagai macam RAS, suku yang sama sama merantau jadi TKI. Semunya hampir bekerja sebagai buruh bangunan. Namun, ada juga yang bekerja di tempat lain.
                                    ***

Dini hari, sebagaiamana yang diagendakan. Kami mulai menyeberang ke Pulau Batam. Kulihat wajah beberapa kawan tampak sumringah. Tidak terlihat suram, sebagaimana terlihat di hutan.

Barangkali pikiran mereka sama dengan yang ada dibenakku. Yakni cepat sampai di kampung halaman. Berkumpul dengan keluarga, para teman. Bercanda bersama. Hidup bergotong royong, sebagaimana karakter bangsa kita tempo dulu. Agamis, saling toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, sekarang seolah nilai nilai itu, mulai terkikis kerasnya zaman. Kekerasan atas nama ‘tertentu’ juga semakin marak, sering kita saksikan. Meruntuhkan nilai nilai luhur bangsa yang mestinya kita jaga  bersama sampai kapan pun.

Kami semakin jauh meninggalkan negeri orang, menggunakan speedboot. Setelah menoleh kebelakang, ternyata gemerlapnya negeri orang, sudah tak terlihat.

Kami bagaikan berada di tengah samudera, pekat dan gelap. Hanya bintang selalu setia tersenyum diatas sana bersama sang rembulan, yang selalu hidup rukun hingga akhir kehidupan ini.

Kemudian, aku teringat saat berjuang untuk melunasi hutang. Awalnya bagi saya sangat berat, menanggung hutang sebanyak itu.

Tapi ketika jadi TKI, hanya dalam hitungan empat bulan, saya sudah bisa melunasinya. Dengan menombok nomer atau togel diberbagai kelasnya.

Itu pun baru dua bulan, aku bisa dapat keuntungannya. Berikutnya, bulan ke 3 dan bulan ke 4. Setelah itu, saya baru lega. Hutang ku sudah tak tersisa, lunas! Lantaran menombok nomer atau togel bahasa kerennya di negara kamj.

Setelah lepas dari tanggungan hutang. Aku mulai memberanikan diri keluyuran ke tempat hiburan terkenal walau tidak dilengkapi dokumen lengkap.

Namun aku tetap waspada dengan segala kemungkinan yang akan terjadi, yang bisa menyebabkan terjaring operasi gelap.

Tidak hanya itu saya dan beberapa kawan yang menempati rumah Toke atau majikan, juga nekad menyeberang ke negeri ‘Gajah’.

Di sana, kami bertemu bekas wanita penghibur berparas cantik; ngakunya pernah bekerja di salah satu kompleks pelacuran di kota besar Jawa Timur.

Mendengar hal itu, semula saya tidak percaya dengan pengakuan wanita itu.

Namun setelah setelah komunikasi  menggunakan bahasa persatuan kita, Bahasa Indonesia, yang kaya akan serapan bahasa asing maupun bahasa daerahnya. Aku percaya walau tak sepenuhnya meyakini.

Berikutnya, saya teringat lagi dengan seorang kawan, dulunya ia berberprofesi sebagai pembunuh bayaran.

Entah sudah berapa korban jatuh ditangannya. Hingga akhirnya, ia berhenti setelah insiden yang membuatnya betobat. Menyesal seumur hidup, atas aksinya yang kurang perhitungan juga kurang sekasama.

Setelah berjam-jam mengapung di laut. Kami sampai juga di Pulau Batam. Lalu diasingkan lagi ditempat penampungan.

Lalu kami di data, untuk disesuaikan dengan jauh dekatnya jarak kampung halaman kami.

Saat teman-teman kami masih melepaskan lelah tidur dengan lelapnya. Saya dan Indah terjadi komunikasi sangat serius.

Ia mengajak saya ke kampung halamannya. Lalu mengikat janji setia. Sementara di paras wajahnya yang cantik tampak ada kecemasan.

“Saya bersedia ikut ke kampung mu. Asal terlebih dulu kamu ikut ke kampung ku!” Indah hanya diam. Kemudian mendesah, matanya melotot ke depan bagaikan memikirkan sesuatu.

“Saya tidak bisa! Saya sudah kangen sama keluarga, dan saya sudah ditunggu disana.” katanya dengan suara parau.

“Saya juga begitu!” tegas ku.

“Bagaimana kalau saya hamil?” Aku cuma bisa memandangnya tanpa bisa memberikan komentar apapun. 

November 2014

Baca juga: Dari Yang Tersisa IV (bagian IV)

Editor : awsnews.id

Politik & Pemerintahan
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru