JAKARTA – Tradisi charity di Indonesia sangat kuat. Tetapi kita perlu melakukan transformasi dari charity ke praktik filantropi yang lebih akuntabel, ilmiah, dan profesional. Hal itu diungkapkan pengamat kebangsaan dan sosial kemasyarakatan Yudi Latif .
Yudi Latif adalah pembicara dalam diskusi tentang filantropi di Indonesia. Diskusi itu berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 21 Maret 2024.
Baca juga: Berikan Rasa Aman, Babinsa Dan Bhabinkamtibnas Kamal Laksanakan Pengamanan Ibadah Di Gereja
Diskusi yang menghadirkan Yudi Latif itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Webinar itu dipandu oleh Elza Peldi Taher dan Swary Utami Dewi.
Dalam diskusi itu, Yudi Latif menyatakan, masyarakat Indonesia memiliki tingkat solidaritas yang sangat tinggi. Ini terlihat jika ada bencana banjir, dan sebagainya.
“Tiap tahun negara memberikan ratusan triliun untuk bantuan sosial. Tetapi ironisnya tingkat kemiskinan di Indonesia tetap menjulang tinggi,” ujar Yudi.
Yudi menambahkan, jika kita memakai standar Bank Dunia, lebih dari 50 persen populasi Indonesia masih termasuk dalam kemiskinan. “Kelas menengahnya ‘kan baru 20 persen, itu pun masih banyak yang rentan kembali ke kemiskinan,” ucapnya.
“Jadi, ada paradoks antara semangat memberi (giving) dan kenyataan efektivitas dari memberi itu, dalam usaha-usaha melakukan pemberdayaan sosial,” tutur Yudi.
“Hal ini membawa kita untuk melakukan transformasi dari praktik-praktik charity, yang sudah lama tertanam dalam tradisi Indonesia, menjadi praktik-praktik filantropi,” lanjut Dewan Pembina Dompet Dhuafa ini.
Baca juga: Budiman Divonis Bayar Utang Rp 449 Juta, PN Malang: Jika Wanprestasi, Dieksekusi
Yudi menjelaskan, charity biasanya berbentuk pemberian yang spontan, informal, tidak perlu riset-riset dan pemikiran yang bersifat ilmiah.
“Sifat solidaritasnya emosional dan biasanya kurang akuntabel juga. Dan biasanya tidak memeriksa sebab-sebab dari suatu kemiskinan itu karena apa, mengapa itu terjadi,” tuturnya.
Maka, kata Yudi, dalam pemikiran filantropi, charity itu masih dikategorikan keterbelakangan mental. Memang niatnya mulia, tapi pendekatannya masih terbelakang dan kurang maju dalam praktik tata kelolanya.
Yudi menegaskan, perlu lompatan transformasi, dari charity menuju bentuk giving yang lebih ilmiah, lebih profesional, lebih mengetahui sebab-sebab dari suatu persoalan kemiskinan, dan bagaimana kita bisa mengatasinya secara efektif berkesinambungan.
“Itu melahirkan apa yang disebut filantropi. Memang perbedaan antara filantropi dan charity tidak terlalu clear cut, tapi cuma soal tingkat atau derajatnya saja,” ujar Yudi.
“Makin ilmiah, makin efektif cara intervensinya, dan profesional, itu disebut sebagai filantopi. Makin spontan, informal dan kurang akuntabel, itu disebut charity. Di Indonesia ini, yang banyak berkembang itu charity,” jelas Yudi.
Artikel ini telah tayang sebelumnya di okejatim.com dengan judul "Yudi Latif: Perlu Transformasi dari Charity ke Praktik Filantropi yang Lebih Profesional". lihat harikel asli disini
Editor : Redaksi