Oleh Agus Wahid
Banyak persoalan hukum yang memaksa para pihak mencari keadilan sejati. Diartikulasikan secara politik ekstraparlementer, secara institusional (DPR) dan secara prosedural hukum (MK). Itulah dampak serius dari perhelatan pemilihan presiden - wakil presiden 2024 yang penuh drama abuse of power secara melampaui batas. Memaksakan kehendak secara a priori dan egois yang diduga memenangkan salah satu paslon secara tidak fair, intimidatif dan penuh rekayasa manipulatif. Demikian “telanjang” dan ugal-ugalan.
Baca juga: Kondisi Eropa Yang Berubah Sekularistik
Praktik abuse of power yang ugal-ugalan itu mendorong masyarakat dari berbagai elemen terus berbondong-bondong menuntut keadilan. Gedung KPU, BAWASLU, DPR bahkan istana menjadi sasaran massa mengepung. Arahnya jelas: agar para penyelenggara pilpres berjalan on the track secara hukum. Namun, kita saksikan, gerakan massa yang demikian ekstensif tidak membuat penyelenggara pilpres tergugah kesadaran dan nuraninya untuk menghadirkan pilpres yang berkejujuran, transparan, dan akuntabel. Bahkan, di tengah gelombang kritik itu, KPU kian pongah. Tak menggubris. Seolah menantang kepada seluruh elemen rakyat kontrarian itu. BAWASLU juga enggan memfollow up seluruh pelanggaran serius yang dilakukan kontestan pilpres, terutama paslon 02.
Spirit mencari keadilan itu pula yang mendorong publik mendesak DPR untuk menggunakan hak angket: guna “mengadili” praktik penyelenggaraan pilpres yang penuh pelanggaran serius. Gerakan penggunaan fungsi kontrol melalui hak angket disadari serius dampaknya bagi kontestan pro rezim. Tidak tertutup kemungkinan, rekomendasi hak angket bisa mengarah pada pelengseran posisi Jokowi. Itulah sebabnya, istana dan seluruh “kaki tangannya” gencar membangun narasi yang mengecilkan makna dan fungsi penggunaan hak angket.
Dalam masa bersamaan, juga dilakukan penggembosan kepada sebagian anggota fraksi DPR bahkan berusaha mengintimidasi secara halus. Itulah yang dilakukan oleh salah satu pejabat negara dalam rangka melumpuhkan ikhtiar politik prosedural di tengah parlemen. Semua upayanya gagal. DPR tetap melangkah lebih jauh penggunaan hak angket itu.
Namun, untuk memperkuat langkah politik pro demokrasi yang menjunjung tinggi martabat dan keadilan, para pihak yang dirugikan hak-hak politiknya semasa pilpres mengajukan gugatan sengketanya ke MK. Sebuah langkah hukum yang pernah disarankan kubu Prabowo-Gibran melalui ketua Tim hukumnya: Yusril Ihza Mahendra. Anehnya, di antara Tim Hukum 02 ini yaitu Hotman Paris menyatakan, langkah hukum ke MK itu sebagai tidakan cengeng. Menggelikan dan menimbulkan pertanyaan tersendiri, kegelisahan apa yang menyelimuti Hotman itu. Tapi, apapun reasonnya, kini MK secara resmi telah menerima gugatan kubu 01 dan 03.
Bola pencarian keadilan itu kini ada di tengah MK. Sebuah renungan, apakah MK kini akan terpanggil nuraninya untuk memperhatikan para pencari keadilan substantif demi masa depan negara demokrasi yang mencerahkan? Pertanyaan ini sangat releven diketengahkan sejalan “noda hitam” MK yang membalutnya demikian hitam yang pernah mencoreng nama agung MK, minimal, dalam kurun waktu setengah tahun terakhir ini.
Kita tahu, dampak putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang memberi “karpet merah” kepada Gibran yang belum berusia 40 tahun sebagai prasyarat minimal capres-cawapres itu benar-benar serius menodai perjalanan pilpres 2024 ini. Putusan MK tersebut membuat istana cawe-cawe secara all out. Di antaranya, menggalang kekuatan yang penuh intimidatif dengan menggunakan instrumen negara yang harusnya netral dalam perhelatan pilpres 2024. Putusan MK yang kontroversial itu pun mendorong penguasa demikian berani “mengotak-atik” dana bantuan sosial (bansos) yang jelas-jelas melanggar UU APBN 2023 dan UU Keuangan Negara demi kepentingan politik 02. Dan, akibat putusan MK yang melahirkan “anak haram konstitusi” itu pula membuat KPU begitu berani melakukan politik zig-zaq yang penuh manipulatif secara sistemik.
Itulah catatan hitam proses penyelenggaraan pilpres 2024 yang dapat dijadikan pijakan sikap dan tindakan hukum MK. Karenanya, sengketa yang diajukan ke MK bukan sekedar menguji perbedaan perolehan suara pilpres yang memang sangat njomplang. Tapi, lebih jauh dari persoalan angka yang bersifat kuantitatif dan memang sangat serius persoalannya. Berarti, banyak variabel kualitatif politik yang memang demikian mewarnai secara dominan dan determinan dalam perhelatan pilpres 2024 kemarin.
Tampaknya, penekanan uji validitas seputar gelombang data kualitatif di satu sisi menjadi kecemasan tersendiri sebagai bagi Tim Hukum 02. Data penyalahgunaan kekuasaan secara terstruktur, sistemik dan massif (TSM) sulit disanggah karena memang telah terpublikasi secara luas dan bisa diaudit validitasnya secara forensik . Di samping alat bukti yang terekam secara elektronik, juga kemungkinan besar kesaksian masyarakat yang melihat dan merasakan jabaran TSM itu. Yang menggalaukan, Menteri Sosial (Risma) dan Menteri Keuangan siap memenuhi udangan sebagai saksi atas bukti penggelontoran keuangan negara yang melanggar UU, terutama terkait dengan bansos itu. Bahkan, sejumlah kepala desa akibat Mendagri tak keluarkan THR siap juga menjadi saksi atas data mobilisasi massa dan serangan “gentong babi” ke masyarakat, serta intimidasi yang diterimanya.
Pembuktian praktik TSM yang jelas-jelas melawan hukum dan UU itu akan diperkuat lagi pengungkapan manipulasi angka secara algoritmatik. Meski MK bukanlah para ahli IT dan bukan juru “hitung”, tapi kesaksian para ahli di bidang penggelembungan angka (perolehan suara) untuk pasangan tertentu (02) akan menjadi masalah hukum yang memberatkan posisi 02. Di sisi lain secara paralel penggambaran strategi taktis mematok perolehan angka secara sistemik bagi 01 dan 03 yang jauh dari 50%, juga menambah berat posisi hukum 02. Ada penguncian hasil yang tentu bertentangan dengan prinsip fairness dan netralitas.
Baca juga: Catatan Politik Didik J Rachbini
Gambaran itu semua akan menjadi ajang pembuktian yang menegangkan. Masing-masing kubu yang dirugikan dan diuntungkan akan saling adu argumen. Sebagai ahli hukum kenamaan nasional, Tim Hukum 02 misalnya akan mengerahkan alibi yang dilontarkan Tim Hukum 01 dan 03. Namun, ada hal yang perlu diingat sedini mungkin: sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat pasti akan terjatuh. Dalam hal ini layak kita tegaskan, sehebat apapun kemampuan Tim Hukum 03, berangkatnya dari “barang busuk” yang sudah menyengat ke berbagai ranah negeri, bahkan dunia internasional.
Jika orang seperti Yusril Ihza Mahendra, Hotman Paris dan Otto Hasibuan tetap mengkontruksi landasan hukum yang membenarkan “barang busuk” menjadi berbau wangi, maka keberadaan dirinya akan tidak mendapat simpati publik. Selain itu akan segera hilang wibawa dan martabatnya, dan pastinya akibat pembelaan hukum yang tidak berlandaskan keadilan itu niscaya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat nanti.
Perbandingan 2 : 1 ini menggambarkan sebagaian besar atau kebanyakan hakim (para penegak hukum) cenderung bertindak di luar keinginan hukum yang berkeadilan. Perilaku penegak hukum yang sesungguhnya “penjahat” ini tak ada tempat lain yang lebih tepat, kecuali neraka. Meski demikian, beda dengan kaum penegak hukum yang tetap berjibaku untuk supremasi hukum demi tegaknya keadilan. Surga ada di hadapannya.
Lalu, bagaimana potret hakim MK saat ini yang siap menentukan sikap hukum yang harus berkeadilan, bermartabat dan siap mengantarkan ke surga, bukan neraka nanti? Mencermati komposisi hakim MK saat ini, dari ketua majelis dan para hakim anggota, terlihat jelas sikap dan pendirian hukum yang akan ditegakkan. Satu sisi, komposisi hakim setidaknya tujuh hakim yang ikut mengadili sengketa pilpres punya latar belakang sikap “menolak” putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.
Latar belakang ini pun akan menjadi sikap majelis MK: aberpotensi kan mengabulkan gugatan 01 dan 03 yang – secara awal – mempersoalkan putusan yang menjadi pangkal masalah pilpres 2024. Dari mempersoalkan putusan yang menghasilkan “anak haram konstitusi itu, berpotensi besar akan dikabulkannya gugatan derifatifnya: persoalan TSM. Outputnya bisa mendiskualifikasi kesertaan paslon 02 dalam pilpres kemarin, lalu perintah pemilu ulang dan hanya diikuti paslon 01 dan 02.
Akankah muncul keberanian dalam diri para hakim MK saat ini? Tantangan tersendiri dan cukup serius. Karena tak akan dibiarkan proses hukum yang akan mengamputasi kepentingan strategisnya.
Baca juga: Jelang Pilkada Kota Bekasi, Masyarakat Diminta Tak Pilih Politisi Kutu Loncat
Namun demikian, jika hakim MK takluk terhadap tekanan penguasa dan para sekutunya dari kaum oligarki, mereka mungkin saja selamat dari cengkeraman dunia ini. Namun, dirinya tetap terancam dari kekuatan sipil yang tak akan pernah henti mengejarnya dengan beragam daya, apalagi di bulan suci Ramadlan ini Allah akan mendengarkan dan mngabulkan doa kaum yang teraniaya. Maqbul.
Akhirnya, para hakim MK saat ini diperhadapkan dua kondisi yang dilematis. Yaitu, luntur semangatnya dari pro justitia karena mendapat perlindungan istana. Atau, siap melawan tekanan istana dan mendapat pembelaan rakyat yang memang benci ketidakadilan. Jika opsi kedua yang akan diambilnya, maka MK kali ini akan terukir dalam sejarah emas. Marwah MK kembali bersinar. Insya Allah, akan menjadi pendobrak mafia peradilan politik dan menjadi garda penting dalam memperbaiki konstruksi demokrasi yang bertatanan hukum, bukan tatanan penguasa.
Kedaulatan hukum akan memancar. Rakyat pun akan mendapatkan kembali kedaulatan yang diimpikan itu. Terhampar luas pilpres 2024 mendatangkan bencana. Tapi, di sana juga terhampar hikmah besar di balik bencana itu. Tinggal kita harus mampu menghadapi bencana itu. Agar rahmat-Nya turun. Itulah karakteristik perjuangan lahir-batin yang harus dilakukan, bukan terima takdir semata tanpa ikhtiar.
Penulis: Analis Politik CPPS Indonesia
Artikel ini telah tayang sebelumnya di harianindonesianews.com dengan judul "Gugatan Pilpres 2024: Momentum Kembalikan Marwah MK". lihat harikel asli disini
Editor : Redaksi