JAKARTA, HINews - Kejaksaan Agung masih terus mengusut kasus korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS) tahun 2015 - 2022 di Bangka Belitung.
Penyidik Jampidsus Kejagung telah menetapkan 16 orang tersangka yang diduga terlibat dan bertanggung jawab terkait kasus timah.
Baca juga: Kondisi Eropa Yang Berubah Sekularistik
Dari data yang dilansir dari bangkapos, kasus korupsi tata niaga timah merupakan skandal korupsi paling besar dalam sejarah kasus korupsi di Indonesia.
Kerugian sebesar Rp271,06 triliun yang dihitung oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo dalam kasus korupsi timah ternyata baru dari sisi kerugian lingkungan atau kerugian perekonomian negara. Belum termasuk kerugian keuangan negara.
Sebelum kasus korupsi timah ini meledak, ada beberapa kasus korupsi besar yang diungkap aparat penegak hukum di Indonesia.
Dari sejumlah kasus, terbesar adalah kasus dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara Rp138,442 triliun.
Kasus dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk mencapai nominal fantastis, yakni Rp 271,06 triliun. Sehingga kasus ini melampaui kasus BLBI.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo menyatakan, besaran nominal kasus korupsi timah ilegal itu hanya kerugian dari sisi kerusakan lingkungan atau kerugian perekonomian negara, belum termasuk kerugian keuangan negara.
Total kerugian kerusakan lingkungan hidup sebesar Rp271.069.688.018.700, kata Bambang, dikutip dari Kompas.id (20/2/2024).
Angka itu diperoleh dari penghitungan kerugian lingkungan akibat penambangan timah ilegal selama 2015-2022.
Penghitungan uang korupsi timah Rp 271 triliun Masih dari sumber yang sama, Bambang melakukan pemantauan di lapangan dan analisis berbasis satelit untuk menghitung besaran kerugian akibat korupsi timah ilegal sejak 2015-2022.
Hasilnya, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa aktivitas tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah.
Menurut pemantauan pakar forensik kehutanan itu, penambangan timah liat tersebut dilakukan mulai Mei 2016.
"Kami merekonstruksi dengan menggunakan satelit pada tahun 2015 yang merah-merah ini adalah wilayah IUP (izin usaha pertambangan) dan non-IUP. Kami tracking 2016, 2017, 2018, 2019, 2020 sampai 2022, dilihat warna merah makin besar, ini adalah contoh saja," tutur Bambang.
Dari pemetaan yang dilakukan, terdapat tambang yang dibuka di wilayah IUP PT Timah Tbk., tetapi ada pula yang dibuka di luar kawasan IUP tersebut, termasuk di kawasan hutan.
Total luas tambang timah tersebut adalah 170.363,547 hektar. Dari jumlah area itu, hanya 88.900,462 hektar yang memiliki IUP.
Sementara 81.462,602 hektar sisanya tidak memiliki IUP. Bambang kemudian menghitung kerugian perekonomian negara berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
"Kerugian tersebut terbagi menjadi kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan," kata Bambang.
Hasilnya, kerugian kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas penambangan timah liar itu mencapai Rp 271 triliun.
Rincian kerugian korupsi timah ilegal Lebih lanjut, Bambang merinci total kerugian lingkungan hidup akibat tambah timah liar itu.
Berikut perinciannya:
1. Kerugian tambang timah di dalam kawasan hutan Kerugian lingkungan ekologis: Rp 157,83 triliun
Biaya kerugian ekonomi lingkungan: Rp 60,27 triliun
Biaya pemulihan lingkungan: Rp 5,26 triliun
Dengan begitu, total kerugian mencapai Rp 223,36 triliun.
2. Kerugian tambang timah di luar kawasan hutan
Kerugian lingkungan ekologis: Rp 25,87 triliun
Biaya kerugian ekonomi lingkungan: Rp 15,2 triliun
Biaya pemulihan lingkungan: Rp 6,63 triliun.
Dengan begitu, total kerugian mencapai Rp 47,70 triliun.
Jika semua nominal kerugian di dalam hutan dan di luar kawasan hutan di total, hasil kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp 271,06 triliun.
Belum Termasuk Kerugian Keuangan Negara
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Kuntadi menyatakan bahwa hasil penghitungan ekologi yang disampaikan Bambang belum termasuk kerugian keuangan negara.
Jumlah tersebut akan ditambahkan dengan kerugian keuangan negara yang muncul dalam perkara yang sedang diusut Kejagung itu.
"Saat ini penghitungan kerugian keuangan negara masih berproses, nanti berapa hasilnya akan kami sampaikan," ujar Kuntadi, dilansir dari Kompas.com (20/2/204).
Menurut Kuntadi, sebagian besar lahan yang ditambah oleh pelaku penambangan timah itu seharusnya dipulihkan atau direklamasi. AKan tetapi, hal itu tidak dilakukan.
"Sama sekali tidak dipulihkan dan ditinggalkan begitu saja, menimbulkan bekas lubang-lubang besar dan rawa-rawa yang tidak sehat bagi lingkungan masyarakat," kata dia.
Lubang bekas tambang tersebut mengandung logam berat dan bahan kimia beracun yang berbahaya. Kubangan lubang yang menganga besar itu juga membahayakan jiwa masyarakat sekitar.
Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional menyebutkan, setidaknya terdapat 168 korban jiwa yang meninggal akibat lubang tambang di seluruh Indonesia sejak 2014-2020,.
Jatam juga mencatat, setidaknya terdapat 3.092 lubang tambang yang masih terbuka, berisi air beracun dan mengandung logam berat karena belum direklamasi.
Sejumlah Nama Beken Terseret
Kasus tersebut juga menjadi sorotan publik setelah sejumlah nama beken ikut menjadi tersangka dan ditahan Kejagung, termasuk di antaranya crazy rich Pantai Indah Kpauk (PIK) Helena Lim dan suami dari pesohor RI Sandra Dewi, Harvey Moeis.
Rentetan kasus ini bermula Kejagung menetapkan lima orang tersangka yang terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. tahun 2015 - 2022. Salah satunya adalah eks Dirketur Utama PT Timah Tbk. Mochtar Riza Pahlevi Tabrani.
Kasus kemudian meluas hingga menyeret 16 tersangka termasuk Harvey Moeis yang juga Presiden Komisaris perusahaan batu bara PT Multi Harapan Utama.
Besarnya potensi kerugian negara dalam kasus timah membuat kasus tersebut menjadi kasus korupsi dengan potensi kerugian negara terbesar di Indonesia.
Daftar 16 Tersangka Korupsi Tata Niaga PT Timah
Dalam perkara ini tim penyidik telah menetapkan 16 tersangka, termasuk perkara pokok dan obstruction of justice (OOJ) alias perintangan penyidikan.
Harvey Moeis, suami artis Dewi Sandra menjadi tersangka ke-16 dalam perkara ini.
Berikut daftar nama-nama para tersangka:
Tersangka dari penyelenggara negara:
1. M Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) selaku mantan Direktur Utama PT Timah.
2. Emil Emindra (EML) selaku Direktur Keuangan PT Timah tahun 2017 sampai dengan 2018.
3. Alwin Albar (ALW) selaku Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021 sekaligus Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019 sampai dengan 2020 PT Timah.
Tersangka dari pihak swasta:
4. Suwito Gunawan (Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa)
5. MB Gunawan (Dirut Stanindo Inti Perkasa)
6. Hasan Tjhie (Dirut CV Venus Inti Perkasa atau VIP)
7. Kwang Yun (Eks Komisaris CV Venus Inti Perkasa atau VIP)
8. Roberto Indarto (Dirut PT SBS)
9. Tamron alias Aon (Pemilik Manfaat Official Ownership CV VIP)
10. Achmad Albani (Manager Operational CV VIP)
11. Suparta (Dirut PT Refined Bangka Tin atau RBT)
12. Reza Andriansyah (Direktur Pengembangan PT RBT)
Baca juga: Catatan Politik Didik J Rachbini
13. Rosalina (GM PT Tinindo Inter Nusa (TIN)
14. Toni Tamsil (pihak swasta-kasus perintangan penyidikan)
15. Herlina Lim (Crazy Rich PIK sekaligus Manager Marketing PT Quantum Skyline Exchange atau QSE)
16. Harvey Moeis (perwakilan PT RBT sekaligus suami aktris Sandra Dewi)
4 Kasus Korupsi Terbesar Selain Tata Niaga Timah
Berikut daftar empat kasus mega korupsi di Indonesia sebelum kasus tata niaga timah terbongkar:
1. Kasus Dana BLBI
Kasus BLBI bermula pada 1997-1998, ketika Bank Indonesia (BI) memberikan pinjaman kepada bank-bank yang hampir bangkrut akibat diterpa krisis moneter.
Untuk menolong perbankan yang tumbang, Bank Indonesia sebagai bank sentral kemudian mengguyur dana sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank agar mereka tidak kolaps. Namun, dana bantuan tersebut harus dikembalikan ke negara karena sebagai bentuk talangan.
Namun, obligor dan debitur banyak yang mengemplang dana BLBI dan tidak mengembalikan ke negara hingga 20 tahun berlalu.
Keterangan resmi Kementerian Keuangan menyebut BLBI merugikan negara Rp138,442 triliun dari Rp144,536 triliun BLBI yang disalurkan berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2000.
Satgas BLBI sudah bekerja pada 2021 hingga masa tugas pada 31 Desember 2023.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkomitmen menuntaskan kasus penagihan utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara ratusan triliun rupiah sejak lebih dari dua dekade. Keseriusan ini diwujudkan lewat Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 Tahun 2021 terkait Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Menkopolhukam Mahfud MD (saat masih aktif) menyebut, pemerintah akan memanggil seluruh debitur dan obligor yang berjumlah 48 orang. Adapun jumlah total utang mereka terhadap negara disebut mencapai Rp 111 triliun. Termasuk Tommy Soeharto, yang berutang kepada negara sekitar Rp 2,6 triliun.
"Di atas itu banyak yang utangnya belasan triliun, Rp 7,-8 triliun yang totalnya itu Rp 111 triliun," terang Mahfud dalam siaran video yang dibagikan.
Namun, Mahfud belum merinci siapa saja pengutang yang akan dipanggil terkait kasus BLBI ini, dan hanya mengatakan mereka kini berada tersebar di Singapura, Medan, Bali, dan tempat lainnya. Dia berharap utang 48 obligor dan debitur BLBI kepada negara bisa lunas sebelum masa tugas Satgas habis pada 2023.
2. Kasus Korupsi dan TPPU PT Duta Palma Group di Riau
Kasus kedua terbesar setelah BLBI yakni kasus korupsi dan tindakan pencucian uang (TPPU) terkait penyerobotan lahan negara untuk perkebunan kelapa sawit seluas 37.095 hektar di wilayah Riau oleh PT Duta Palma Group. Kasus di daerah Indragiri Hulu (Inhu) ini merugikan negara sebesar Rp 78 triliun.
Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia ST Burhanuddin menyatakan bahwa kerugian perekonomian negara akibat kasus korupsi dan tindakan pencucian uang (TPPU) terkait penyerobotan lahan seluas 37.095 hektar di wilayah Riau oleh PT Duta Palma Group ditaksir mencapai Rp 78 triliun.
"Berdasarkan hasil perhitungan ahli dengan estimasi kerugian sebesar Rp 78 triliun," kata Jaksa Agung dalam keterangan videonya, Senin (1/8/2022).
Adapun dalam kasus korupsi ini, Kejagung telah menetapkan dua tersangka, yakni pemilik PT Duta Palma Group Surya Darmadi (SD) dan Raja Thamsir Rachman (RTR) selaku Bupati Kabupaten Indragiri Hulu periode 1999 sampai dengan 2008.
Untuk tersangka Raja dan Surya dikenakan Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Selanjutnya, Surya dikenakan pasal berlapis soal TPPU, yakni Pasal 3 jo Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan TPPU.
"Terhadap para tersangka tidak dilakukan penahanan karena tersangka RTR sedang menjalani pidana untuk perkara lain di Lapas Pekanbaru. Sedangkan tersangka SD masih dalam status DPO," ujar Burhanuddin.
Menurut Jaksa Agung, Raja Thamsir Rachman pernah secara melawan hukum menerbitkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di kawasan di Indragiri Hulu atas lahan seluas 37.095 hektar kepada 5 perusahaan milik PT Duta Palma Group.
Kelima perusahaan yang dimaksudkannya itu yakni PT Banyu Bening Utama, PT Panca Agro Lestari, PT Seberida Subur, PT Palma Satu, dan PT Kencana Amal Tani.
Sementara itu, Burhanuddin menyebutkan, Surya Darmadi mempergunakan izin usaha lokasi dan izin usaha perkebunan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan serta tanpa adanya hak guna usaha dari Badan Pertanahan Nasional.
Baca juga: Jelang Pilkada Kota Bekasi, Masyarakat Diminta Tak Pilih Politisi Kutu Loncat
Bahkan, PT Duta Palma Group sampai dengan saat ini tidak memiliki izin pelepasan Kawasan Hutan dan HGU serta tidak pernah memenuhi kewajiban hukum untuk menyediakan pola kemitraan sebesar 20 persen dari total luas areal kebun yang di dikelola sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007.
"Telah membuka dan memanfaatkan kawasan hutan dengan membuka perkebunan kelapa sawit dan memproduksi sawit yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara," kata dia.
3. Kasus Korupsi Penjualan Kondensat di Tuban
Berikutnya, kasus dugaan korupsi penjualan kondensat oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang juga melibatkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), menjadi sorotan publik karena nilai kerugian negaranya.
Pengolahan kondensat ilegal terjadi di kilang minyak di Tuban, Jawa Timur.
Kasus ini muncul karena penunjukan langsung penjualan minyak mentah (kondensat) bagian negara sejak 23 Mei 2009 hingga 2 Desember 2011.
Berdasarkan penghitungan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), dalam kasus di Jatim ini negara dirugikan sebesar 2,716 miliar dollar AS. Jika dikonversi ke rupiah, nilainya sekitar Rp 35 triliun.
Kasus ini melibatkan PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPP) dan menyeret mantan Presiden Direktur PT TPPI, Honggo Wendratno, mantan Kepala BP Migas, Raden Priyono dan mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas, Djoko Harsono.
Oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Honggo Wendratno divonis 16 tahun penjara. Namun, hingga kini dia masih buron.
4. Kasus Korupsi PT Asabri
Korupsi terkait pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT. Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) tahun 2012-2019 yang merugikan keuangan negara hingga Rp 22,7 triliun.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan kronologi kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi oleh Asabri.
Ia menyebutkan pada tahun 2012 hingga 2019, Direktur Utama, Direktur Investasi dan Keuangan serta Kadiv Investasi Asabri bersepakat dengan pihak di luar Asabri yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer investasi yaitu Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Lukman Purnomosidi.
Mereka bersepakat untuk membeli atau menukar saham dalam portofolio Asabri dengan saham-saham milik Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Lukman dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi tinggi dengan tujuan agar kinerja portofolio Asabri terlihat seolah-olah baik.
Setelah saham-saham tersebut menjadi milik Asabri, kemudian saham-saham tersebut ditransaksikan atau dikendalikan oleh Heru, Benny dan Lukman berdasarkan kesepakatan bersama dengan Direksi Asabri.
Dengan transaksi itu, sehingga seolah-olah saham tersebut bernilai tinggi dan likuid, padahal transaksi-transaksi yang dilakukan hanya transaksi semu dan menguntungkan Heru, Benny dan Lukman serta merugikan investasi Asabri.
Ini karena Asabri menjual saham-saham dalam portofolionya dengan harga dibawah harga perolehan saham.
Untuk menghindari kerugian investasi Asabri, maka saham-saham yang telah dijual di bawah harga perolehan, dibeli kembali dengan nomine Heru, Benny dan Lukman serta dibeli lagi oleh Asabri melalui underlying reksadana yang dikelola oleh manajer investasi yang dikendalikan oleh Heru dan Benny.
Seluruh kegiatan investasi Asabri pada 2012 sampai 2019 tidak dikendalikan oleh Asabri, namun seluruhnya dikendalikan oleh Heru, Benny dan Lukman. Sehingga akibatnya nya dugaan korupsi Asabri ini merugikan keuangan negara sebesar Rp 23,7 triliun.
Sebagai informasi, uang PT Asabri bersumber dari dua program peserta Asabri, yakni Tabungan Hari Tua dan dana Program Akumulasi Iuran Pensiun (AIP). Dana program itu berasal dari gaji pokok TNI, Polri, dan ASN di Kementerian Pertahanan yang dipotong 8 persen per bulan. Rinciannya, Dana Pensiun 4,75 persen dari gaji pokok, dan THT 3,25 persen dari gaji pokok.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak menjatuhkan pidana mati kepada Direktur Utama PT Hanson International Tbk, Benny Tjokrosaputro.
Alih-alih menjatuhkan vonis mati, majelis hakim justru menjatuhkan vonis nihil kepada Benny Tjokro.
Ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat IG Eko Purwanto mengungkapkan bahwa vonis nihil diberikan hakim karena Benny sudah mendapat vonis seumur hidup dalam kasus Jiwasraya.
"Karena terdakwa sudah dijatuhi pidana seumur hidup dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya, maka pidana yang dijatuhkan dalam perkara a quo adalah pidana nihil," kata ketua majelis hakim IG Eko Purwanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (12/1/2023).
Hakim menyebut Benny Tjokro memang terbukti bersalah melakukan korupsi terkait pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri tahun 2012-2019 yang merugikan keuangan negara hingga Rp 22,7 triliun.
Namun Benny tidak bisa dijatuhkan pidana lain karena sudah mendapat hukuman maksimal dalam perkara lain.**
Artikel ini telah tayang sebelumnya di harianindonesianews.com dengan judul "Berikut Sederet Kasus Mega Korupsi di Indonesia Bernilai Fantastis". lihat harikel asli disini
Editor : Redaksi