Surabaya,AWSNews.id - Pulang dari tempat kerja, Puspa langsung tancap gas menuju rumahnya, ia ingin segera bertemu Rimba tampaknya ada sesuatu yang penting. Ada rasa cemas yang begitu mendalam.
Biasanya Puspa selalu ceria, wajahnya berseri menandakan bahwa hidupnya bahagia.
Baca juga: Dari yang Tersisa III (bagian tiga)
Ia memacu kendaraannya menerobos macetnya ibu kota. Tapi kemacetan yang begitu padat harus membuatnya bersabar.
Namun ia tetap nekat berupaya menerobos kendaraan yang berjejer rapat. Hingga akhirnya, Puspa hampir menabrak mobil di depannya.
Beruntung Puspa segera sigap dan menekan rem motornya secara mendadak dan membuatnya hampir jatuh.
Puspa lantas menarik nafas dalam-dalam, dan menyadari tidak harus memaksakan segera sampai di rumah. Maka ia melajukan kendaraannya dengan tenang, serta berkonsentrasi penuh.
Setelah dua jam berjibaku dengan macet yang begitu padat, akhirnya ia sampai juga di rumah. Lalu ia memarkir motornya, kemudian mengetuk pintu.
Setelah pintu pun terbuka, Rimba menyambutnya dengan senyuman. Namun tanpa sepatah kata Puspa langsung masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat.
Melihat gelagat itu, Rimba bengong, ia heran dengan sikap Puspa yang berubah tiba-tiba berubah tanpa adanya suatunya persoalan. Tanpa berpikir panjang, ia pun menyusul Puspa ke dalam kamar.
Di sana Puspa menangis, tetasan air matanya membasahi pipinya yang tembem. Rimba melangkah mendekat, lalu memegang kedua pundaknya.
"Ada apa, tiba-tiba dagang malah kamu menangis," tanya Rimba masih penasaran, lalu menghapus air matanya.
Sementara Puspa terus menangis tersedu-sedu tanpa menghiraukan pertanyaan Rimba
"Coba ceritakan? Jangan membuat ku bingung," pinta Rimba.
"Wanita itu....," kata Puspa sambil memeluk Rimba erat-erat.
"Wanita siapa?" tanya Rimba
"Wanita itu....," kata Puspa lagi di tengah tangisannya yang sedih.
"Iya wanita siapa, coba tenangkan dirimu lalu cerita," imbau Rimba sambil membelai rambut Puspa.
"Mantan istri mu," kata Puspa terbata-bata, kemudian ia memeluk Rimba lebih erat seolah tidak ingin kehilangan dia.
Sementara Rimba kaget mendengar penuturan Puspa. Namun ia tetap tenang agar tidak menimbulkan kepanikan lebih mendalam bagi dia.
"Maksud kamu Nita...? Ada apa dengan dia?" tanya Rimba.
"Dia datang ke kantor, nyamperin aku, nangis-nangis, dia tanya kamu, dan menyatakan ingin rujuk," beber Puspa di tengah tangisannya yang makin menjadi.
"Aku takut, engkau meninggal aku dan kamu kembali ke wanita itu lagi," kata Puspa lirih sambil menempelkan kepalanya di dada Rimba.
Mendengar itu, Rimba cuma termenung, ada rasa was-was tiba tiba menyentuh dirinya. Andai Nita benar-benar ingin rujuk sudah pasti akan melakukan segala cara untuk melakukannya.
Ia akan membikin perhitungan dengan Puspa, karena dia mengganggap sebagai biang kerok atau penyebab ambruknya rumah tangga saat hidup bersamanya.
Pun Puspa juga tahu akan tabiat Nita, bila sudah berkehendak pasti dia tatag menghadapinya walau di depannya berdiri puluhan musuh.
Dan keduanya sudah pernah saling berhadapan dan tak tahu siapa yang paling mumpuni di antara mereka.
Maka, wajar bila Puspa merasa khawatir dan hatinya dirundung sedih.
"Kamu jawab apa?"
"Aku Jawab kamu di Jawa Timur dan aku kehilangan kontak dengan kamu, padahal sebenarnya aku tadi sangat khawatir, untung dia percaya," tutur Puspa sambil terisak.
Rimba lalu memegang kedua pundak Puspa, kemudian ia memandang wajahnya. Dia meyakinkan bahwa Rimba tidak akan pernah kembali kepada Nita.
Pun akan pasang badan bila Nita akan menyakitinya. Puspa adalah skala prioritas, sedangkan Nita sudah bukan siapa-siapa lagi
Sebab perpisahan dengan Nita bukan lantaran orang ketiga atau terkait keberadaan Puspa. Tapi karena sikapnya yang hedon dan tak mau berubah.
"Kamu enggak usah khawatir aku tak akan berpaling, tak akan kembali sama dia. Dan aku akan melindungi mu jika dia macam-macam," ujar Rimba, menatap mata Puspa meyakinkannya.
"Aku bisa melawannya Mas, yang aku takutkan engkau akan kembali sama wanita itu, dan menghitamkan apa yang kita rencanakan," kata Puspa sambil memegang lengan Rimba.
"Percayalah, aku tidak akan pernah meninggalkan engkau sayang," ujar Rimba, memeluk erat tubuh Puspa.
Mendengar perkataan Rimba, Puspa merasa tenang dan tak khawatir lagi, lantas ia meminta Rimba menemani istirahat, memeluknya hingga tidur lelap karena rasa lelah yang mendera.
***
Dua hari kemudian, Nita datang menemui Puspa kembali di kantornya. Ia tahu Puspa saat ini tidak ditugaskan lagi di lapangan.
Puspa di belakang meja menemani Wanda merekap hasil laporan dari teman-temannya yang bertugas di lapangan. Laporan tersebut lalu diteruskan ke atasannya.
Puspa sebenarnya masih ingin terjun di lapangan, tetapi karena Puspa saat ini sudah hidup berdua, maka atasannya mengeluarkan kebijakan menempatkannya di dalam kantor.
Puspa menerima Nita di ruangan kerjanya. Sebab yang menduga yang dibicarakan sesuatu yang penting. pastinya Nita akan mengorek keberadaan Rimba yang sekarang sudah merapat ke pelukannya.
"Mbak, aku minta tolong carikan kabar Rimba ada dimana sekarang?" kata Nita, raut wajahnya penuh harap dan seolah ada penyesalan yang mendalam.
Lalu air matanya mulai mengalir, meleleh membasahi pipinya.
Baca juga: Dari Yang Tersisa IV (bagian IV)
Sementara Puspa berupaya untuk tetap tenang, menutupi status mereka yang dijalani saat ini. Walau sebenarnya ingin menghajar wanita di depannya itu.
Puspa mengatakan, teman-temannya disini kehilangan kontak dengan Rimba. Dia mengatakan akan kembali ke Jawa Timur dan akan menetap di sana, tidak memastikan akan kembali ke kota ini
"Tapi aku mencium atau merasakan, Mbak Puspa tiap hari berinteraksi dengan Rimba, bahkan layaknya suami istri," terang Nita.
"Apa mungkin dia sudah menjadi suami Mbak Puspa? Aku harap Mbak jujur, tidak usah menutupi," kata Nita, sedih sambil berurai air mata.
Mendengar ucapan Nita, mendadak Puspa kaget, jantungnya hampir copot, namun ia berusaha tetap tenang seolah tidak tejadi apa-apa.
Puspa menyadari, saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya sama Nita. Ia khawatir, dirinya dianggap sebagai orang ketiga yang menyebabkan kehancuran rumah tangga mereka.
Lantas ia memegang lengan Nita untuk meyakinkannya.
"Mbak salah..., harusnya kami yang bertanya dimana Rimba saat ini, tenaganya masih dibutuhkan oleh kami." ujar Nita.
Untuk mengalihkan cecaran Nita selanjutnya, Puspa lalu mengajak Nita ngobrol di salah satu cafe dekat situ. Walau sebenarnya di tampak was was dan khawatir.
Namun, Nita menolak ajakan tersebut, memilih pulang karena mendapatkan jawaban yang tidak diinginkan.
Setelah Nita angkat kaki dari kantornya, ia bersyukur dan bisa bernafas lega.
Setelah Nita pulang, Puspa lalu dipanggil Wanda menghadap ke ruangannya.
Wanda merupakan salah satu petinggi di organisasi atau perusahaan tersebut, jabatannya sejajar dengan Rimba, cuma dia berperan di belakang layar, sedangkan Rimba ditempatkan di lapangan memantau kesulitan anak buahnya.
"Siapa wanita itu, sepertinya dia bukan wanita sembarangan, kalau saya amati kemampuannya seimbang dengan kamu," kata Wanda.
Wanda menjelaskan, dia memantau Nita melalui CCTV sejak pertama kali datang ke kantornya.
"Mantan istrinya Rimba," ujar Puspa.
"Oh dia rupanya, lalu untuk apa kesini? Mau melabrak kamu?" tanya Wanda.
Mendapatkan pertanyaan itu, Puspa cuma diam. Ia tidak menjawab, ia hanya menangis di depan Wanda.
"Lho kenapa menangis?" tanya Wanda kaget, heran melihat Puspa tiba-tiba bersedih hati.
"Ayo cerita, kalau menangis tidak bisa menyelesaikan masalah," terang Wanda.
Dia lalu duduk di samping Puspa, sambil menatap wajahnya yang tampak sedih.
Puspa kemudian merebahkan kepalanya di bahu Wanda, dengan terbata-bata ia blak-blakan mengungkapkan kegundahan hatinya.
Baca juga: Dari yang Tersisa IV (bagian tiga)
Ia menjabarkan, bahwa Nita saat ini Nita menanyakan keberadaan Rimba, ia ingin rujuk dengan Rimba, membangun kembali bahtera masa lalunya yang telah rusak.
"Aku takut Mbak, khawatir Rimba meninggalkan aku dan kembali ke pelukan wanita itu," tutur Puspa.
Lalu Puspa kembali menangis, air matanya tumpah membasahi pipinya yang tembem, isaknya pun semakin menjadi.
Wanda pun tersentuh mendengar tuturan Nita, sebagai seorang wanita ia sangat memahami keresahan Puspa. Sehingga Wanda juga larut dalam kesedihannya.
Wand pun berusaha meyakinkan Puspa tidak perlu khawatir berlebihan, karena dia tahu betul akan sosok Rimba. Dia tidak akan menghitamkan komitmen kecuali memang sudah tidak sepaham.
"Apa Rimba sudah tahu, jika wanita itu ingin kembali? tanya nya.
"Sudah.." kata Nita lirih
"Apa reaksi dia?" tanyanya lagi.
"Iya mengatakan tidak akan pernah meninggalkan aku, dan siap pasang badan melindungi," jawab Puspa masih berlinang air mata.
Mendengar pengakuan Puspa, Wanda tersenyum, ia meyakini bahwa Rimba tidak akan pernah kembali ke Nita.
Hanya saja Puspa merasa khawatir dan terlalu berlebihan menyikapi hal itu. Sehingga ia tidak tenang, was-was dan bersedih hati.
"Sudah enggak usah menangis, percayalah Rimba tidak akan pernah meninggalkan engkau," tegas Wanda.
"Darimana Mbak tahu," tanya Puspa
"Aku tahu Krakter dia, harusnya engkau juga tahu karena sering tugas bersama, apalagi saat hidup sudah hidup bersama," tutur Wanda.
"Tapi wanita itu...," kata Puspa.
"Kamu jangan memikirkan dia, percaya padaku, Rimba tidak akan berpaling, nanti saya panggil dia untuk memastikan itu," kata Wanda meyakinkan Puspa.
Puspa mengangguk, lalu ia mulai menghentikan tangisnya. Sebab Ia percaya dan meyakini ucapan Wanda.
Selama ini Puspa menganggap Wanda sebagai saudara, bahkan adakalanya dianggap sebagai seorang Ibu yang memberikan kenyamanan dan perlindungan kepada anaknya.
Sehingga, Puspa terkadang bersikap manja saat bersama Wanda, walau jarak usia mereka cuma lima tahun.
Bersambung...
Agustus 2017
Editor : awsnews.id