Oleh: Agus Wahid
Tampak loyo. Tak terlihat lagi tampang percaya diri (PD). Bahkan, sirna pula arogansi dirinya yang pernah berkoar tak akan menolak mundur dari jabatan Ketua MK karena kekuasaan diberi Allah, bukan manusia. Itulah wajah dan body language Anwar Usman (AU) pasca Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutus perkara kode etika para hakim MK. Bahkan, atas pelanggaran beratnya terhadap persoalan etika Mahkamah, AU juga tidak boleh lagi mencalonkan diri atau dicalonkan untuk struktur baru kemimpinan hakim MK. Dan yang jauh lebih krusial, AU tak boleh ikut mengadili sengketa pemilu (pileg, pilpres pilkada). Yang perlu kita tatap lebih jauh, bagaimana implikasinya bagi peta baru politik nasional ke depan?
Baca Juga: Kondisi Eropa Yang Berubah Sekularistik
Yang utama dan mendasar, putusan Majelis Kehormatan cukup berimplikasi konstruktif bagi kepentingan hukum politik (konstitusi). Problem conflict interest yang telah berlangsung lama di tengah MK, kini terdapat potensi besar untuk dibenahi. Para hakim MK mendapat pelajaran berharga: tak boleh lagi “bermain mata” apalagi abuse power kerena kepentingan sempit pribadi dan atau kelompoknya. Ada peringatan diri yang akan mengancam diri hakim MK jika tetap mempermainkan etika terkait conflic interest yang membuahkan putusan hukum paradok dengan cita-cita penegakan hukum konstitusi secara ideal.
Peringatan keras itu akan mendorong para hakim konstitusi untuk lebih terpanggil mengedepankan profesionalitas, integritas, etikabilitas dan hati nurani dalam setiap menghadapi perkara hukum yang diajukan ke MK. Agar, terwujud putusan MK yang benar dan berkeadilan. Dalam tataran ini, marwah MK yang telah terkikis, kini mulai disemaikan lagi menuju performa yang dicita-citakan ideal. Maka, menjadi krusial dan strategis ketika Majelis Kehormatan MK menyampaikan salah satu amar putusannya: mengharuskan restrukturisasi pimpinan MK dalam waktu 48 jam sejak putusan persoalan etik dibacakan. Hal ini menjadi momentum mendasar untuk membenahi budaya kerja MK ke depan. Suatu restorasi yang ditunggu banyak elemen masyarakat, karena implikasinya demikian destruktif dalam wilayah politik nasional.
Kini, kita perlu menyorot khusus implikasi politik pasca putusan Majelis Kehormatan MK itu. Menggarisbawahi salah satu amar putusan Mahkamah Kehormatan itu AU tak boleh lagi ikut mengadili proses pileg, pilpres dan pilkada amar putusan ini langsung meng-knock out kepentingan istana yang sedang berusaha ekstra keras membangun politik dinasti.
Bagaimana tidak? Hampir seluruh proses pileg, pilpres dan pilkada karena terdapat sejumlah kecurangan yang terjadi diadukan ke Mahkamah Konstitusi. Sementara, AU tak lagi berwenang bahkan tak lagi ikut mengadili sengketa itu. Maka, di depan mata, keponakannya (Gibran Rakabuming Raka) yang sedang mempersiapkan ikut pilpres 2024 ini dihadapkan realitas baru di tengah MK: tak ada lagi sandaran bagi keluarga Jokowi untuk mengawal kepentingan sempit keluarganya.
Di depan mata pula, Bobby Nasution tak bisa berharap lagi mengandalkan AU sebagai alat kepentingan sempitnya saat maju pilkada Kota Medan pada periode kedua nanti. Landasannya, pilkada Kota Medan berpotensi besar munculnya sengketa. Proses politik hukum di tengah MK ini pun akan membuat buram Bobby Nasution. Serupa tapi tak sama. Nasib perolehan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kini ada dalam komando Kaesang Pangarep juga tak akan leluasa untuk bermain mata dengan KPU yang akan berujung pada sengketa dari sejumlah rivalnya yang merasa dirugikan.
Baca Juga: Catatan Politik Didik J Rachbini
Maka, reposisi di tengah MK membuat kelumpuhan AU. Dan hal ini langsung mengakibatkan kepentingan jangka pendek dan panjang Jokowi tak berdaya lagi. Ketika Jokowi masih mempersilakan anak-anaknya ikut proses politik kontestasi tak lagi dibarengi proteksi politik khusus. Keluarga istana kini berkiprah dalam politik kontestasi yang penuh dengan aroma persaingan penuh. Aroma kompetisi bebas ini membuat tanda tanya besar bagi keluarga Jokowi. Karena fakta bicara, keberhasilan Gibran dan Bobby saat mengikuti pilkada sarat dengan nuansa pemaksaan istana, secara langsung atau tidak. Dulu, masyarakat Solo dan Medan tunduk dengan arus pemaksaan itu. Tapi, ceritanya akan berbeda ketika dilakukan pemaksaan lagi. Data faktual pemaksaan pasti akan sampai ke arena MK. Di sinilah, langakh politik Gibran, Bobby bahkan Kaesang tak bisa berharap lagi pada MK pimpinan baru sebagai sandaran kepentingan politiknya.
Tak bisa dipungkiri, putusan Majelis Kehormatan MK benar-benar berpengaruh destruktif bagi kepentingan Jokowi. Rencana besar membangun dinasti politik langsung ambyar. Tamat. Namun, kita perlu mencatat sisi lain, ketamatan prospek politik dinasti ini menjadi buah manis peta politik nasional ke depan. Pilpres akan diwarnai proses tanpa permainan pesanan khusus. Demikian juga pileg dan pilkada. Maka, yang akan menampak adalah irama politik kontestasi berlandaskan keunggulan kompetitif-komparatif bagi masing-masing kandidat. Siapapun yang memiliki keunggulan itu, berpotensi menang. Dalam kaitan ini, Gibran selaku cawapres menjadi beban berat Prabowo. Prospek kemenangannya pun menjadi buram, bahkan ambyar.
Yang menarik lagi, output Majelis Kehormatan MK itu juga akan membuat KPU dan Bawaslu untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara. Sebab, “main mata” kedua penyelenggara ini tak lepas dari reaksi publik selaku konstituen. Akan berujung ke MK. Dan para hakim MK baru ini akan bekerja jauh dari nuansa nepotisme dan titipan. Integritas baru para hakim MK pasca putusan Majelis Kohormatan tak akan segan untuk menganulir hasil kemenangan yang telah ditetapkan KPU karena diduga kuat terjadi mekanisme politik yang menabrak rambu-rambu UU Politik. Demi marwah lembaga penyelenggara pileg, pilpres ataupun pilkada, maka MK akan mengedepankan sikap penyelenggaraan pesta demokrasi yang on the track. Di sinilah, kita akan saksikan peta politik baru nasional.
Akhirul kalam, tampaknya sudah menjadi sunnatullah. Kulminasi kejahatan politik yang demikian sistimatis dan terencana harus mengalami titik jenuh dan terendah. Tidak bisa dipertahankan lagi posisi puncaknya. Secara alami (sunnatullah) roda itu berputar dan kembali ke posisi rendah. Memang perlu waktu. Tapi, pergantian posisi roda itu pasti. Kita perlu merenung, apakah putusan Majelis Kehormatan MK menjadi pendulum perputaran roda politik nasional? Tampaknya seperti itu. Dan tak disadari, pengangkatan Gibran sebagai cawapres menjadi pintu masuk untuk merekonstruksi keberadaan MK. Pintu masuk itu merupakan implikai dari AU memfaslitasi kepentingan politik Gibran yang masih di bawah usia 40 tahun. Tak disadari, langkah AU bagian dari sunnatullah untuk mereposisi kekuatan Jokowi saat ini.
Baca Juga: Jelang Pilkada Kota Bekasi, Masyarakat Diminta Tak Pilih Politisi Kutu Loncat
Sangat boleh jadi, jeritan rakyat didengar Allah. Maka, ada saja pintu masuk untuk merobohkan kekuatan yang dinilai sangat digdaya itu. Sudah saatnya kedigdayaan itu harus diamputasi atau ditumbangkan. Karena itu, kita layak beriterima kasih kepada AU yang awalnya memfasilitasi kepentingan istana. Ketundukan AU pada kakak iparnya menjadi pintu masuk pula bagi peta politik baru negeri ini. Sekali lagi, inilah cara Allah yang tak terduga bagi siapapun.
Penulis: Analis Politik dan Kebijakan Publik
Artikel ini telah tayang sebelumnya di harianindonesianews.com dengan judul "Pasca Amar Putusan MKMK: Peta Baru Politik Nasional". lihat harikel asli disini
Editor : Redaksi