Oleh: Agus Wahid
Sudah cukup menderu suara pelengseran (impeachment) terhadap Jokowi. Jika jauh sebelumnya, suara yang menderu datang dari sejumlah masyarakat sipil madani. Kini, suara yang lebih kencang itu justru dari para elit partai yang pernah membesarkannya. Suara itu kian digaungkan dengan langkah penggunaan hak angket sebagian besar anggota DPR.
Baca Juga: Kondisi Eropa Yang Berubah Sekularistik
Yang perlu kita analisis lebih jauh, apakah impeachment itu merupakan gambaran reflektif murni kemuakan publik atas intervensi politik Jokowi, setidaknya selama beberapa tahun terakhir? Fakta bicara, cawe-cawe yang diduga dilakukan oleh Jokowi sudah demikian gamblang menabrak konstitusi apalagi ketentuan hukum lainnya.
Politik pun diacak-acak. Hak-hak sosial dan berdemokrasi pun disumpal, bahkan ada yang harus menghadapi penjara dan ajal. Sampai-sampai, sektor ideologi pun diamputasi dan berusaha dibelokkan ke arah ideologi yang tak lagi sejalan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan filosofis negara.
Kita saat ini dipertontonkan dengan politik “barbar” dan mengancam kedaulatan negara. Perilaku kekuasaannya tidak hanya kian agresif “menjual” negeri ini, tapi juga kian mengarah pada upaya sistematis dan terencana agar negeri ini tercaplok oleh bangsa-negara lain. Dalam kerangka mengartikulasikan politik-ideologis ini pula, upaya memperpanjang masa jabatannya menjadi tuntutan yang sangat mendesak. Namun, konstitusi kita pasca UUD 1945 diamandemen yang membatasi maksimal hanya dua periode menggerakkan “inovasi” politik kerdil: membangun dinasti.
Mahkamah Konstitusi (MK) pun dimainkan. Outputnya, batasan minimal usia 40 tahun bagi capres dan atau cawapres didobrak, meski dengan klausul “pernah dan atau sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pemilu”. Sebuah output MK yang memberi “karpet merah” untuk keponakannya: Gibran Rakabuming Raka yang langsung menggerakkan reaksi frontal karena adanya konflik kepentingan pada diri Ketua MK saat itu.
Intervensi politik ala Jokowi sudah melampaui batas normal. Karena itu tak ada jalan lain untuk menghentikan barbar dalam politik. Impeachement menjadi keharusan. Tak bisa ditolelir lagi. Meski tinggal beberapa bulan, tapi jika tetap berkuasa, akan jauh lebih menghancurkan, Karena itu, impeachment tersebut sesungguhnya sejalan dengan nurani rakyat yang tak rela menyaksikan politik rezim ini. Namun demikian, dengan penuh kewaspadaan, kita perlu mempertanyakan, apakah impeachment itu bagian dari skenario Jokowi?
Jika memang itu skenarionya, maka itu memang bagian dari political trap design. Jokowi dengan sengaja menciptakan sejumlah manuver politiknya untuk memancing kemarahan rakyat, dari anasir civil society yang beragam warna dan kaum elitis partai di parlemen.
Jika pada proses politik riil sampai ke titik impeachment, maka dengan kekuasaan yang masih ada di tangannya Jokowi akan melakukan perlawanan. Dengan cara mengeluarkan dekrit. Bisa dalam bentuk membubarkan DPR seperti yang pernah dilakukan Soekarno dan Gus Dur. Bisa juga langsung menyampaikan maklumat tentang perpanjangan masa jabatan sampai waktu yang tidak ditentukan. Sebuah target yang makin gamblang untuk menganeksasi negeri kita tercinta. Menjadikan negeri kita tak lagi hanya berwarna Merah Putih. Nama negaranya pun tidak akan lagi utuh Indonesia.
Dekrit itu pasti mengundang reaksi frontal dari masyarakat luas. Guna menghadapi kekuatan people power inilah Jokowi pun sudah mempersiapkan garda kekuatan TNI, bahkan POLRI yang pro rezim. Itulah sebab rezim ini mempercepat kenaikan Jenderal Agus Subiyanto menjadi KASAD dan dalam waktu relatif singkat dipersiapkan menjadi Panglima TNI. Sementara, Kaapolri yang memang sahabatnya sejak Jokowi menjadi Walikota Solo, masih dipertahankan. Strategi ini memang dirancang sebagai bemper penyelamatan Jokowi dari dentuman people power.
Yang perlu kita terawang, apakah TNI-POLRI totally solid sebagai bemper Jokowi? Kalau mengacu pada pernyataan Jenderal Agus Subiyanto, dia tegaskan akan bersikap tegak lurus terhadap Panglima Tertinggi (Pangti). Berarti, tunduk total terhadap Jokowi selaku presiden. Implikasinya, ia akan mengerahkan seluruh kekuatan TNI untuk memback up Jokowi dari gerakan people power. Sekali lagi, apakah akan totally solid? No. Di wilayah TNI AD sendiri akan terpecah. Jenderal Agus Subiyanto yang tergolong muda dan dikatrol dengan cepat, hal ini akan menggerakkan kecemburuan positioning di internal AD. Dan hal ini akan berimplikasi insoliditas dalam tubuh TNI. Insoliditas itu akan menggema pada TNI level perwira ke bawah. Maka, di lapangan akan terlihat insoliditas tentara dalam menghadapi kekuatan massa (rakyat).
Baca Juga: Catatan Politik Didik J Rachbini
Sementara, di tubuh TNI AL menurut bocoran informasi sudah tegas-tegas tidak akan sejalan dengan kepentingan rezim. Ada solidaritas baru yang menunjukkan ketidakterimaan akibat penggantian Panglima TNI Laksamana Yudho Margono yang lebih dipercepat. Sementara itu, barisan POLRI pun akan membaca dengan jernih topografi politik massa. Jenderal Listyo Sigit Prabowo akan menghitung plus-minusnya dalam bertindak versus rakyat, apalagi pengaruh Samb Effect masih terasa dalam tubuh POLRI. Satuan kepolisian akan menghitung perlawanan rakyat dari anasir kekuatan dua pasangan capres-cawapres (pro Anies-Muhaimin dan Ganjar-Machfud). Penggabungan kedua basis massa ini berpotensi mencapai 200-an juta orang. Minimal, tak kurang dari angka 150-an juta. Mengerikan dan sangat tidak seimbang dibanding komposisi jumlah aparat tentara dan kepolisian.
Memotret kekuatan potensial massa perlawanan itu, maka dekrit pembubaran DPR dan atau perpanjangan masa jabatan akan berujung pada keamblasan Jokowi. Berarti, skenario memperpanjang masa jabatan melalui gerakan cheoistik akan gagal. Yang bakal terjadi justru peralihan kekuasaan ke tangan triumphirat (Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri).
Pertanyaannya, apakah Triumphirat ini akan tunduk pada ketentuan yang berlaku, yakni mendapatkan kepercayaan berkuasa hanya untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu? Kita tahu, Menteri Pertahanan juga berambisi untuk berkuasa lebih jauh. Itulah sebabnya, Prabowo ikut kontestasi pemilihan presiden. Sementara, kesertaannya dalam kontestasi tak bisa diharapkan menang, meski berpasangan dengan Gibran dan Jokowi cawe-cawe. Karena itu, Prabowo sebagai bagian dari presidium akan mengeksploitasi masa triumphirat sebagai ajang berkuasa. Eksploitasi ini jelaslah akan menggelorakan perlawanan rakyat. Awalnya, terhadap Jokowi, berlanjut kepada bonekanya.
Jika skenario Jokowi dan implikasinya berjalan, di depan mata, Indonesia diperhadapkan suasana yang penuh “goro-goro” (kekacauan atau prahara). Kondisi ini sangat menguntungkan pihak yang ingin mencaplok NKRI. Memotret topografi politik ini, maka impeachment menjadi tidak strategis hasilnya. Berarti, untuk mengamputasi kekuasaan Jokowi haruslah bersabar: menanti pilpres 2024 yang tinggal menghitung hari. Namun, adakah jaminan pilpres ini on the track (jujur, adil dan transparan)? Sangat diragukan. Netralitas TNI-POLRI dan PNS dipertanyakan. Hal ini sejalan dengan sikap Jokowi yang memang telah menyatakan akan cawe-cawe. Ketidaknetralan itu pun sudah ditunjukkan. Istana berubah fungsi: menjadi “Markas Besar” pemenangan pasangan Prabowo-Gibran.
Yang perlu kita catat, ketidaknetralan itu merugikan kepentingan Ganjar-Mahfud dan pasangan Anies-Muhaimin. Maka, tak ada opsi lain bagi kedua pasangan capres-cawapres dan seluruh barisan pendukungnya terpanggil untuk melakukan perlawanan massif-ekstensif. Kedua barisan ini harus mampu mengawal proses pilpres dengan jujur dan adil. Kedua pasangan ini pun meski beda vested politiknya terpaksa harus menyatu. Menjadikan capres-cawapres boneka Jokowi sebagai the common enemy. Kebersatuan barisan Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin akan menjadi kekuatan strategis yang akan membuka mata dan nurani TNI-POLRI dan ASN. Mereka berpotensi akan kembali pada fungsi utamanya: mengamankan jalannya pilpres.
Memang, netralitas TNI-POLRI dan ASN – untuk saat ini boleh dibilang ilusi. Namun, jika perlawanan rakyat itu riil, perubahan konstruktif pada TNI-POLRI dan ASN sebuah keniscayaan. Karena itu, keterpanggilan rakyat dalam menghadapi gerakan pencurangan massif menjadi sesuatu yang sangat berarti. Sangat meaningful bagi stabilitas negara dan tujuan penyelenggaran pemilu. Inilah mengapa pilpres masih bisa diharapkan untuk menghadirkan pemimpin baru. Minimal, terjauh dari nuansa intervensi politik yang telah terbangun selama Jokowi berkuasa. Politik dinasti pun secara prosedural demokrasi akan terkikis secara alamiah.
Baca Juga: Jelang Pilkada Kota Bekasi, Masyarakat Diminta Tak Pilih Politisi Kutu Loncat
Persoalannya kini, apakah seluruh elemen rakyat ini tetap tergoda untuk mengamputasi kekuasaan Jokowi melalui impeachment? Atau, harus bersabar dengan menanti pilpres yang harus di back up dengan perlawanan heroik pro kejujuran, keadilan dan keterbukaan? Jika mencermati skenario jahat di balik gerakan impeachment, maka pilpres memang perlu dilihat sebagai opsi. Apalagi jika harus mengingat sejumlah pengorbanan waktu, energi, pemikiran bahkan finansial, hal ini perlu dijadikan penguat memilih opsi.
Namun, tak bisa disangkal, rakyat akan terus digoda dengan manuver-manuver politik para elit. Memamg memuakkan dan makin menghawatirkan untuk nasib bangsa dan negeri ini. Inilah tantangan dilematis yang sulit diartikulasikan seluruh elemen rakyat. Di sinilah urgensinya kecerdasan politik para elitis bangsa yang masih memandang negeri ini sebagai tempat berpijak dan tercinta. Bagaimanapun, seluruh rakyat jauh lebih dewasa dan mengedepankan akal sehatnya dengan cermat dan brilian.
Penulis: Analis Politik Center for Public Policy Studies Indonesia (CPPSI)
Artikel ini telah tayang sebelumnya di harianindonesianews.com dengan judul "Jokowi dan Impeachment". lihat harikel asli disini
Editor : Redaksi