JAKARTA, HINews - Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan berlangsung pada 14 Februari 2024 mendatang ternyata membawa dampak buruk bagi nasib pohon yang menjadi tiang baliho calon legislatif (Caleg) maupun capres-cawapres yang terpasang di seluruh penjuru negeri.
Pandangan ini tidak hanya memerinci konsekuensi lingkungan, tetapi juga mencermati perspektif sosial, norma, dan aturan yang mengikat masyarakat Republik Indonesia.
Baca Juga: Kondisi Eropa Yang Berubah Sekularistik
Padahal memperlakukan pohon dengan baik sebagai paru-paru dunia sangatlah penting untuk mempertimbangkan aspek ini guna mencapai keseimbangan antara politik dan keberlanjutan lingkungan.
"Dalam perspektif lingkungan, penggunaan pohon sebagai tiang baleho menimbulkan keprihatinan serius. Pohon-pohon yang dipilih mungkin memakan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk tumbuh," ujar pegiat konservasi dan lingkungan, Nurul Yuliana dalam keterangan tertulisnya, Jumat, (22/12/2023).
Nurul mengungkapkan, menjadikan pohon sebagai tiang pemasangan baliho akan menciptakan ketidakseimbangan ekologis dan kerusakan yang merugikan, mengingat pentingnya pohon dalam menjaga keseimbangan karbon dan ekosistem.
Dari segi sosial, praktik ini dapat menimbulkan kekhawatiran di masyarakat.
"Dalam konteks ini, kita dapat merenung tentang Gerakan Chipko di India yang digalang oleh Amrita Devi Bishnoi pada abad ke-18. Gerakan tersebut menekankan pentingnya pelestarian pohon sebagai penopang kehidupan masyarakat," ungkap Nurul.
Menurutnya, menggunakan pohon hanya sebagai tiang baleho caleg dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai konservasi dan keberlanjutan. Norma dan aturan yang berlaku di Indonesia perlu menjadi panduan dalam menyikapi isu ini.
Dia pun menilai, perilaku memasang baliho atau spanduk caleg dengan mengikat bahkan memaku pohon seyogyanya bukan hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilu untuk memastikan bahwa praktik kampanye tidak merugikan lingkungan, tetapi juga menjadi tanggung jawab para calon pemimpin negeri yang notabene mengorbankan kepentingan lingkungan demi haya untuk dikenal orang.
Baca Juga: Catatan Politik Didik J Rachbini
"Kepatuhan terhadap regulasi terkait perlindungan pohon dan keanekaragaman hayati harus diutamakan oleh semua pihak demi menjaga integritas lingkungan," jelas Nurul.
Dalam mengatasi permasalahan ini, perlu adanya inovasi dalam penyelenggaraan kampanye politik. Alternatif ramah lingkungan seperti baleho digital atau penggunaan material yang dapat didaur ulang seharusnya menjadi pertimbangan utama.
Oleh karenanya kata Nurul, penyelenggara pemilu harus lebih bijak dan kreatif dalam memanfaatkan teknologi serta mempromosikan kampanye yang berkelanjutan.
Mengakhiri penggunaan pohon sebagai tiang baleho bukanlah langkah radikal, melainkan sebuah terobosan yang melibatkan kebijakan yang lebih progresif dan berpihak pada keberlanjutan.
"Sebagai masyarakat yang peduli terhadap masa depan, kita harus menuntut perlindungan terhadap lingkungan demi menjaga kelestarian alam bagi keadilan lintas generasi," pungkasnya.
Baca Juga: Jelang Pilkada Kota Bekasi, Masyarakat Diminta Tak Pilih Politisi Kutu Loncat
Seperti diketahui, dalam kontestasi politik lima tahunan ini, pohon kerap kali jadi objek pemasangan baliho baik itu caleg maupun pasangan capres-cawapres.
Berbagai macam gaya dan raut muka para kontestan politik yang terpampang di baliho. Ada yang senyum dan ada juga penampilan kartun.
Namun di balik itu semua, ternyata ada yang diabaikan soal keseimbangan ekosistem dan adanya cara-cara kampanye yang merugikan lingkungan. Belum lagi pascakampanye mendatang, bekas baliho tentunya menjadi tumpukan sampah yang membutuhkan waktu yang lama untuk diurai.**
Artikel ini telah tayang sebelumnya di harianindonesianews.com dengan judul "Marak Pemasangan Baliho Kampanye: Caleg Meringis Pohon Menangis". lihat harikel asli disini
Editor : Redaksi