Oleh: Agus Wahid
Publik seantero Nusantara boleh jadi terkejut. Bagaimana tidak? Dia bagai menguasai medan. Itulah tampilan Gibran Rakabuming Raka dalam debat antar calon wakil presiden (cawapres) pada Jumat malam, 22 Desember kemarin, di arena KPU. Muncul pertanyaan mendasar, benarkah Gibran punya pemahaman dan pengetahuan yang tergolong luas itu?
Baca Juga: Kondisi Eropa Yang Berubah Sekularistik
Percaya dan tidak. Mencermati suasana debat semalam, memang terlihat Gibran tampak seperti menguasai masalah yang disampaikan para panelis dan atau pertanyaan tektok dari antar cawapres. Karenanya, Gibran tampak percaya diri (PD). Itulah sebabnya, walikota Solo itu tampak bersemangat dengan rona wajah meyakinkan.
Namun, kita perlu menelisik lebih teliti, validkah data yang disampaikan? Bagaimana nalarnya, logik atau nyambungkah?
Dalam beberapa hal, ada sejumlah data yang keliru disampaikan. Saat bicara APBD Kota Solo dan sumber PAD, Gibran mengutip data jumlah wisatawan ke Solo lebih banyak dibanding destinasi Yogyakata.
Dinas Pariwisata Solo mencatat, jumlah wisatawan ke berbagai dstinasi Kota Solo 15 April – 1 Mei 2023 hanya 396.280 orang. Sementara, jumlah wisatawan ke Jogja saat libur lebaran 19 - 25 April saja mencapai 1.655.814 orang. Tampak jelas Gibran salah kutip data angka. Pertanyaannya, apakah keliru mengingat angka atau salah mendengar dari ear feeder yang memang stand by untuk memasok informasi super kilat itu?
Yang tak kalah “menggemparkan” lagi dan hal ini tampaknya untuk menjebak cawapres lain. Gibran melontarkan pertanyaan kepada Muhaimin Iskandar tentang ranking indeks ekonomi di antara negara-negara Islam. Dengan percaya diri, Gibran melontarkan pertanyaan SGEI dengan spelling bahasa Indonesia eS Ge E I, yang bersingkatan State of Global Economic Islamic. Istilah tersebut relatif tak dikenal dan karenanya Muhaimin pun asing mendengarnya. Dapat dimaklum, istilah itu saat bicara ranking indek tersebut memang harusnya GIEI dengan English spelling “Ji Ai I Ai (global Islamic Economic Index). Ambyar. Bermaksud menaikkan positioning diri, tapi ngawur. Maklum. Keliru nyontek atau salah dengar.
Dan satu lagi review Gibran yang melucukan. Ketika Gus Imin melontarkan cita-cita akan menghadirkan 50 kota setara Jakarta dalam kerangka pemerataan distribusi keadilan, Gibran menyergah sembari mencibir dan menilai aneh terhadap paslon No. 1 yang menolak IKN. “Rupanya, gagal paham. Karena itu, saya perlu menjelaskannya”, tegasnya.
Sergahan Gibran perlu kita review, apakah kau tahu agenda setting apa di balik megaproyek IKN? Tahukah kau, megaproyek IKN sarat dengan persekongkolan bisnis antar kaum oligarki dan melibatkan anasir asing (China)? Pahamkah kau, IKN sarat dengan misi besar kedaulatan negara dan bangsa kita yang sangat terancam di masa depan?
Kau bilang, anggaran pembangunan IKN hanya sekitar 20% dari APBN sebesar Rp 466 triliun (APBN 2024). Artinya, pembangunan IKN mengandalkan konsorsium swasta. Adakah investor tertarik? Hanya China yang meliriknya. Itu pun karena motif politik yang sangat ideologis. Bukan ekonomi dan bisnis semata, meski diobral kebijakan HGB 160 tahun dan free tax 30 tahun untuk awalnya. Ragam inilah yang sebenarnya kau tidak paham, wahai Mr. “bocil”
Baca Juga: Catatan Politik Didik J Rachbini
Kesimpulannya, Gibran serasa di atas angin dalam debat semalam. Tapi, miskin data dan logika. Ada krisis pemahaman masalah. Itulah yang membikin sebagian publik tetap tidak percaya. Sebab, biasa berpikir elementar dan tidak substantif, tapi tiba-tiba “wow”. Mau unjuk gigi, tapi tak sadar diri: kapasitasnya tetap rendahan. Sulit “menghafal” secepat kilat. Maklum, lulusan D1, meski di Australia. Pengalamannya yang hanya sekitar dua tahun juga tidak cukup untuk menguasai detail persoalan administrasi pemerintahan, termasuk APBD, apalagi dikaitkan dengan APBN.
Panorama Gibran yang tiba-tiba “wow” juga akhirnya mengundang tanya. Setelah dicermati, ternyata ada tiga alat bantu yang terpasang, di antaranya terpasang di telinganya. Alat ini berfungsi untuk mendapatkan ear feeding. Pasokan informasi itu memang dirancang sebagai jawaban yang disuarakan melalui mulut Gibran. Itulah sebabnya, pasokan jawaban itu sering tidak nyambung antara jawaban dengan pertanyaan atau persoalan yang diangkat panelis atau saat tektok.
Persoalan pembisik tersebut memang debatable. Namun, untuk menjawab kecurigaan atas kemampuan debat Gibran, ada pendekatan yang bisa diterapkan. Yaitu, debat publik informal. Berdialog dengan kaum sivitas akademika, termasuk komponen para mahasiswa, atau dengan kalangan profesional lainnya. Debat publik ini jelas tak tersentuh dari pengaturan KPU. Beranikah?
Sampai detik ini, belum pernah ada catatan Gibran melayani debat terbuka dengan kalangan terdidik itu. Bahkan, ketika harus sosialisasi dengan elemen masyarakat awam, lontaran jawaban sering tidak nyambung. Hemat bicara. Dan berusaha “lari” dari kejaran pertanyaan.
Itulah orisinilitas Gibran yang sesungguhnya jauh dari kualitas. Karena itu, untuk mengkonfrmasi penilaian publik yang tidak percaya pada tampilan Gibran pada acara debat cawapres, dia dan atau timnya haruslah siap menghadapi perhelatan debat terbuka seperti yang dilakukan publik bersama Anies dan atau Ganjar. Sementara, sejauh ini Gibran bahkan Prabowo senantiasa menghindari perhelatan debat publik yang diselenggarakan kaum akademisi, profesional, aktivis apalagi kaum ulama.
Baca Juga: Jelang Pilkada Kota Bekasi, Masyarakat Diminta Tak Pilih Politisi Kutu Loncat
Data faktual ketidaksrdiaan Gibran dalam arena debat publik non-KPU memperjelas penilaian publik yang meragukannya. Gibran tak akan berani menghadapi barisan intelektual dan kaum profesional itu. Dirinya sadar tentang kapasitasnya yang jauh di bawah standar cawapres lain, apalagi capresnya.
Akhirnya, kita membaca agenda setting lebih jauh. Dalam tataran debat saja sudah terjadi persekongkolan untuk melakukan kebohongan publik. Bagaimana dengan etape selanjutnya. Pasti, tak akan jauh dari sketsa jahat. Inilah hikmah yang harus dibaca oleh berbagai elemen yang tidak rela Ibu Pertiwi jatuh ke pangkuan sosok pemimpin pembohong. Tak jauh beda dengan pendahulunya. Memang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Dan itulah jatidiri Gibran, yang tetap masih bocah. Dia bukanlah sang bintang yang tampak PD pada acara debat cawapres kemarin malam. Terlalu ambisius untuk mengerek putera sulung istana ke “angkasa”.
Penulis: Analis Politik
Artikel ini telah tayang sebelumnya di harianindonesianews.com dengan judul "Debat Capres: Tampak Jumawa Tapi Miskin Logika". lihat harikel asli disini
Editor : Redaksi