Surabaya,AWSNews.id - Ketika memasuki Stasiun Kreta Api Pasar Turi, terlihat seorang wanita menawarkan perhiasan beserta HP merk terkenal ke orang di sekitarnya. Anehnya tidak sedikitpun ada rasa khawatir barangnya dirampas oleh orang yang tidak baik.
Sementara orang yang ditawari tidak tertarik untuk membelinya, mungkin saja terlalu mahal dan uang tidak mencukupi.
Baca Juga: Dari yang Tersisa III (bagian tiga)
Wanita itu bersimpuh dilantai, peluhnya mengalir menghiasi wajahnya. Sorot matanya diarahkan ke depan menatap satu persatu setiap orang datang untuk menaiki kereta api.
Berlahan diusaplah peluh yang sudah mencemari wajahnya dengan sapu tangan cokelat. Kepalanya ditiarapkan di antara dua tangan yang ada di atas dua lututnya.
Kelihatan dari jarak sekian meter semangatnya mulai kendor. Usaha menjajakan kembali barang digenggamannya tidak terlihat.
Sebab orang-orang yang berlalu lalang tidak ada yang minat membeli barang ditawarkan itu. Dan ia pun sepertinya putus asa.
Aku melangkah mendekat, aku yakin dia butuh pertolongan dari uluran tangan orang sekitar.
Pastinya dia juga akan bahagia bilamana perhiasan serta HP nya terjualnya sesuai harapan. Walau tidak, selisih sedikit dari harga yang ditawarkan pasti rela dilepas.
Lalu mulailah aku menyapa.
“Nona, kamu jual berapa semuanya?” Rupanya kehadiranku kurang disadari, terbukti sapaanku membuatnya kaget, ia kerepotan untuk menjawab, meski akhirnya membuka suara agak sedikit terbata bata
“Dua juta lima ratus, murah Mas! Dula saya beli semuanya lebih dari Lima Juta.” Aku melihat sorot matanya bahwa ia berkata jujur, aku mulai memeriksa. Dimulai dari perhiasan, ternyata emas murni, gadis tersebut langsung menunjukkan bukti transaksi dari tokonya.
“Kenapa Nona menjualnya?”tanya ku.
“Aku enggak bisa menceritakannya Mas, lumayan lama. Terpenting bagi saya ini dapat terjual.” jawabnya penuh harap
“Aku sanggup membelinya, asal Nona menceritakan kejadian sebenarnya!” Sejanak matanya melotot kerahku, tanpa ragu ia mengangguk. Menyanggupi syarat yang kuajukan.
Lalu mulailah bercerita, bahwa dirinya lari dari kedua orang tuanya di desa, akibat rencana dinikahkan dengan duda beranak dua.
Dia mengaku setiap hari mendapatkan tekanan sangat ketat supaya mau menjadi istri dari sang duda, kehendak orang tuanya ditentang dan diabaikan begitu saja.
Sebenarnya ia anak yang patuh, sejak kecil sudah mendapatkan didikan mengenai sopan santun. Ia juga disekolah kan ke pendidikan berbasis agama hingga sedikit banyak paham akan larangan serta perintah Nya.
Lulus dari Sekolah Menengah Atas. Dia bekerja pada perusahaan asuransi, tiga tahun bekerja ada perubahan mecolok, terutama di wilayah tubuhnya.
Dia tambah putih dan tampilannya memikat setiap laki laki. Lebaran pulanglah membawa hasil lumayan dari tempat bekerja, tanpa disadari ia pun diminati sang duda.
Ia ingin lari ke Jakarta, di Surabaya keberadaannya sudah diketahui. Niatnya sudah bulat meninggalkan tanah kelahiran, jalan ini sebenarnya sebagai bentuk protes terhadap orang tuanya agar tidak ada pemaksaan lagi, seperti cerita Siti Nurbaya.
“Ceritanya selesai Mas! Ini barang nya, saya butuh uang itu.” Ia menyodorkan barangnya ketanganku, terpaksa aku menerimanya.
“Begini saja, barang ini pegang dulu, tiket ke Jakarta pakai uangku! Disana pasti Nona lebih membutuhkan.” Aku menyuruh memasukkan perhiasan beserta HP kedalam tasnya. Aku menjelaskan bahwa tujuanku ke Jakarta juga.
“Tapi aku lapar Mas, uangku tidak ada!” Kembali ia menatapku, sorot matanya menunjukkan kejujuran dari penampilan polosnya.
Aku segera membawanya keluar dari stasiun, menuju kewarung tegal persis diatas trotoar jalan, menurut penjelasan pemilik warung, hanya satu minggu berjualan disini.
Sebelumnya berpindah pindah karena selalu kena gusur oleh pasukan kuning. Sementara pemberangkatan kereta tinggal Tiga puluh lima menit, kuperhatikan gadis didekatku sangat lahap makannya, bahkan ketika aku menyuruhnya menambah, ia tidak sungkan menyodorkan piringnya ke pemilik warung.
***
Dalam kereta kami jarang melakukan komunikasi, sepanjang perjalanan aktivitas pembicaraan bisa dihitung dengan jari, perjalanan jauh ini lebih dimamfaatkan memejamkan mata, kondisi kami benar benar capek. Diserang rasa kantuk yang tak mungkin dilawan.
Sejauh ini pula aku belum tahu siapa nama gadis didekatku, kami sama sekali belum mengenalkan identitas masing masing. Meski demikian, kami seakan sudah kenal jauh, barangkali hal itulah melandasi kami tidak menyinggung nama sama sekali.
Sampai di Stasiun Kreta Api Pasar Senen aku mengajak gadis itu ke warung, sekedar mengisi perut yang keroncongan.
Setidaknya bisa bertahan sampai siang hari. Mataku mulai menjelajah halaman utama koran terbitan nasional, dari judul tak ada menarik untuk dibaca, akhirnya aku pilih ngobrol dengan gadis di dekatku.
“Oh ya, aku belum tahu nama Nona. Panggil saja aku Arman.” Tersungging senyum manis diantara sendu wajahnya. Lalu ia menyebutkan namanya.
“Namaku Citra.” Terangnya
“Lalu tujuanmu mana? Akan kuantarkan!” tanyaku.
“Aku enggak tahu harus kemana? Aku kesini tidak ada tujuan, hanya ingin lepas dari belenggu pemaksaan orang tuaku. Jika berkenan aku ingin ikut Mas Arman.” Aku mendesah panjang, tahu begini tak mungkin aku membawanya.
Terus terang ini akan menghambat tugas-tugasku dalam mencari temanku yang sudah diduga sebagai teroris. Ini keteledoraku! Kenapa tidak menanyakan secara detail akan dirinya? Ya, enggak apalah mungkin ini lebih baik? Bukankah menolong sesama masuk kategori perbuatan bijak.
Lagi pula kita pasti selalu berinteraksi dengan orang lain, saling membutuhkan pada waktu tertentu.
Lalu aku berinisiatif mengekoskan sendirian, jawabnya dia tidak ingin sendiri. Hanya kali ini kakinya menapaki Jakarta, otomatis dia buta, bingung mesti melangkah.
Terpaksa kami mencari sebuah rumah kontrakan, kami tidak usah mencari terlalu jauh, di sekitar stasiun sudah ada, lumayan buat berteduh, kamarnya hanya satu dan ruang tamu sebagai serambi, sebenarnya aku tidak menyukainya. Tempatnya tidak begitu bagus, kecil, akan terasa sesak bila harus ditempati berdua.
Apalagi sekarang musim hujan, aku khawatir banjir akan menerpa kami. Seperti tahun kemarin. Kami kelimpungan akan mengungsi ketempat penampungan, itu yang aku tidak sukai. Bercampur aduk dengan berbagai karakteristik orang.
Bukan aku egois, tidak ingin hidup bermasyarakat. Tapi akan menambah beban pada diriku, tidak bakalan leluasa kesana kemari berkomunikasi dalam urusan satu ini.
Ini sangat urgen menyangkut masalah bangsa juga jiwa manusia. Belum lagi disana, meskipun makan ada jatahnya. Pasti ada problem datang tanpa terduga, terserang penyakit yang bisa menular. Tidurnya pun jauh dari nyenyak, masuk angin, jenuh melihat disekeliling dipenuhi wajah wajah keruh orang yang mengharapkan redanya banjir.
Namun, tanpa banyak berfikir aku putuskan mengontak rumah ini. Aku lakukan semua ini karena Citra ingin ada didekatku. Keinginannya aku turuti atas dasar pertimbangan nilai rasa kemanusian.
Mulai besok aku akan memperkenalkan kota Jakarta, melalui beberapa tahapan. Mungkin sangat tepat pertama kali adalah, ingin kukenalkan kemacetan kota ini setiap harinya.
Bayangkan perjalanan berduarasi puluhan menit adakalanya harus ditempuh sekitar ua jam. Sungguh menjemukan, melelahkan, sesak. Seolah tidak ada celah menyeruput kendaraan didepannya, berjejer rapi seperti pasukan berbaris. Berlomba mengejar waktu dengan kepentingan dan keinginan serba berbeda. Hinga tanpa disadari tambah tahun kemacetan makin terasa akut.
“Biar tidak terlalu merepotkan Mas, mungkin aku bisa dicarikan pekerjaan.” Kata Citra tersenyum disudut ruangan. Aku mengangguk, tanda setuju. Tak kusangka dia adalah gadis baik, dalam situasi terjepit malah berusaha tidak merepotkan, tidak sedikitpun berniat memamfaatkan keberadaanku.
Tapi kendalanya, tidak mungkin mewujudkan keinginan Citra sekaligus untuk dapat pekerjaaan, aku harus mencarikan sesuai tingkat keahliannya.
Dalam satu-dua hari kedepan aku upayakan, satu satunya jalan adalah mengontak beberapa temanku, paling tidak dia jadi SPG salah satu kartu seluler.
Kemudian tangan Citra meraba benda dalam tasnya, lalu menyodorkan perihiasan dan Hp nya untukku. Ia menyuruh menjualnya sebagai ganti biaya selama dari Surabaya dan bayar kontrakan, aku menggeleng! Tidak pantas bagi diriku mengambil barang orang lain dalam keadaan terjepit, apalagi dia dalam lindunganku.
“Pegang dulu kamu masih membutuhkan. Oh ya, sebentar lagi aku keluar, kalau ada apa apa hubungi nomer ini. Jangan lupa ini buat makan siangmu! Sore aku sudah ada disini," kataku.
Aku memberikan uang ratusan ribu beserta nomer ponsel. Lalu aku pergi keluar. Ku lihat kebelakang dia hanya memandangiku, tatapannya penuh percaya.
Sebenarnya kepergianku tidak terlalu jauh, mungkin hanya satu kilo. Sebelumnya aku sudah menghubungi temanku dan sepakat bertemu disebuah restoran khas China.
Sekitar Lima belas menit, ia datang naik motor. Aku segera membuka perbincangan. Tanpa menanyakan kabar terlebih dahulu.
“Apa usahamu berhasil menyingkap dan menggagalkan aksi teror yang kukabari?” tanyaku
“Berhasil dengan mulus, satu orang berhasil kami ringkus! Sementara kami tidak menyebarkan melalui media, Saya berterima kasih banyak atas informasi yang akurat dari kamu.” katanya.
Setelah beberapa menit, kami segera mengakhiri pertemuan, aku menyita motor temanku sebagai fasilitas riwa riwi mencari informasi tentang keberadaan terduga teroris lainnya, salah satunya adalah orang yang aku kenal.
Baca Juga: Dari Yang Tersisa IV (bagian IV)
Entahlah apa yang terjadi dengan dia? Pemikirannya sudah berubah jadi radikal dan ekstrim jika kurang sepaham.
Suatu hari dia sengaja mengirimkan informasi melalui pesan, dia akan melakukan aksi pengeboman di salah satu kantor duta besar.
Sehingga aku meresponnya dengan menghubungi temanku tadi. Selaku aparat pastinya dia bisa menyingkap aksi yang akan dilancarkan.
Dan akhirnya terbukti salah satu komplotan temanku itu berhasil diringkus.
Begitu kuat doktrin yang diterimanya, mengakibatkan hilangnya paham yang dianut oleh keluarganya. Ketika aku menyerukan bahwa tindakannya sangat fatal bagi orang lain, dia menjabarkan secara enteng alibinya.
Alibi yang menurut golongannya benar, tanpa memusyawarahkan terlebih dahulu dengan alibi lain. Akibatnya banyak rakyat sipil menjadi korban. Mati terpanggang ledakan bom seperti Bom Bali, Kuningan atau Marriott.
Sehingga muncul wacana bahwa mereka adalah teroris dan mendapatkan beberapa kecaman.
Sampai saat ini aku belum mengerti, apa dia tergabung dalam gerbong peledakan bom dibeberapa tempat sebelumnya? Itu bukan merupakan hal maha penting, sekarang keinginanku adalah menemukan dia.
Menyadarkan kembali dan membawa pada orang yang lebih paham akan sebenarnya jihad. Dia pernah mengatakan tindakannya tergolong jihad. Dia mengaku sangat senang menjalankan, karena pemikirannya mungkin sudah tiarap akibat kuatnya pengaruh dari atasannya.
Dalam waktu dekat aku berharap dia bisa ditangkap oleh aparat, diproses sesuai hukum yang berlaku.
Walau dia temanku, Aku tidak akan merengek agar dapat keringanan hukuman dari pemerintah. Sebab, sebagai warga negara yang baik, seyogianya patuh pada hukum! Bukan malah memperjual belikan hukum.
Saking hebatnya hingga banyak lolos dari jeratannya. Tradisi ini berlaku bagi pejabat penting, sedangkan maling kelas teri doang dapat perlakuan tidak layak, sampai kemasukan timah panas pada kaki mereka.
Semoga temanku tadi sebut nama pendeknya Arief, berhasil membongkar jaringan mereka secepatnya.
Maka perasaanku akan lega tidak ada tekanan secara mental terutama orang tua temanku beserta segenap familinya.
Untunglah hanya keluargaku yang tahu akan bergabungnya temanku kedalam kelompok radikal ini.
Jika sampai merebak ke telinga orang kampung, pastinya keluarga mereka akan menuai malu, dirasani dari pagi hingga larut malam. Pastinya dicap sebagai “teroris”. Reputasi keluarga nya hancur berkeping keping. Tanpa tersisa kearifan sifat keluarganya yang moderat.
***
Seminggu sudah kami berada di Jakrta, hidup satu atap bersama Citra memang banyak godaan, terlebih lagi saat mata terbangun dari tidur yang lelah. Di sebalahku Citra kerap kali sedang memelukku.
Sudah kuperingatkan tindakannya kurang baik, tapi dia terus mengulangi saat mataku sudah menghanyutkan kearena mimpi. Sementara aku selalu menyuruhnya tidur diatas kasur, sedangkan aku sendiri tidur di lantai beralaskan karpet.
Rasanya aku ingin memarahi, seketika emosi tawar melihat senyumannya di awal pagi. Biasanya aku langsung menuju kamar mandi menyirami tubuhku lalu keluar lagi menemui Arief menggali informasi keberadaan temaku yang sudah di labeli teroris.
Sementara Citra sudah bekerja sebagai resepsionis salah satu perusahaan impor – ekspor di kawasan Kelapa Gading.
Kalau tidak sibuk aku antar jemput Citra, sebagaimana seorang suami menanamkan kasih sayang terhadap istri. Dalam perjalanan biasanya dia sering bertanya tentang nama gedung yang menjulang tinggi itu. Adakalanya juga malah mengomel ketika kami terjebak dalam kemacetan.
Bahkan dia mengajakku main main ke Istana Negara, pergi ke Monas dan kebun binatang Ragunan. Aku menanggapinya positif, menjanjikan jika ada waktu lowong.
Citra adalah seorang penurut, tidak manja, menerima hidup seadanya. Selama ini pula aku tidak berhasrat untuk menikmati tubuhnya, walau kesempatan itu selalu datang.
Aku yakin Citra tidak bakalan menolak, bahkan menyerahkan begitu saja tanpa mengharapkan sesuatu dariku. Ah pikiran kacau! Lalu aku membuang jauh jauh.
Tanpa terasa matahari sudah berada tepat diatas kepala, usahaku gagal menemui Arif, nomer selulernya tidak dapat aku hubungi. Aku temui dikantornya malah dapat interogasi bertubi tubi dari pihak keamanan, biasalah tidak sembarangan orang bisa berkeliaran ditempat itu, apalagi diriku yang tidak punya jabatan apa apa di dalam pemerintahan.
Terpaksa aku pulang ke kontrakan menikmati rokok dan kopi panas.
Baca Juga: Dari yang Tersisa IV (bagian tiga)
Tanpa terduga HP dikantong celana berbunyi, dering nada pesan. Aku segera membuka. Sejenak kuperhatikan ternyata si pengirim berasal dari luar negeri.
Isinya berupa pemberitahuan bahwa teman ku sekarang sudah berada di Negara Timur Tengah. Belajar merakit bom dan latihan perang. Tujuannya berjihad melawan negara digdaya dan sekutunya.
Dia menjelaskan bahwa sudah mantap bersama keyakinannya saat ini. Aku hanya terdiam beberapa saat sekaligus berdo`a agar dia sadar karena sudah jauh menyimpang dari ajaran semula.
Lalu muncul pemikiran baru, aku ingin mengejar ingin mengejarnya ke Negara Timur Tengah, lalu menelpon Arief agar menyiapkan dokumen dan lain sebagainya.
Disertai reflek aku segera mengemasi seluruh barang barangku tanpa tersisa, tidak cukup dua bulan atau bahkan lebih satu tahun berpetualang disana.
Mencari jejak dia sangat sulit, di negara ini gerakannya sulit teridentifikasi. Apalagi di Negara Timur Tengah, sama sekali belum kuketahui kulturnya.
Dua jam kemudian Citra datang, seperti biasanya mengucapkan salam dan langsung menuju kearah tempat tidur berbaring diatasnya.
Matanya terpejam menandakan dirinya sedang dilanda rasa lelah. Aku merapat kedekatnya, dan mengucapkan kata yang tidak disangka sebelumnya, bahwa aku ingin meninggalkan menuju Timur Tengah.
Mendengar itu, tangis Citra pecah disertai derai air mata yang meluncur deras, dia mengatakan bahwa dirinya tidak sanggup berpisah denganku, disini tidak ada siapa siapa lagi.
Keberadaan dirinya digantungkan kepada diriku. Walau Citra sadar dirinya tidak ada hubungan khusus.
“Aku hanya sebentar disana, setelah ketemu dengan temanku, maka sudah tentu aku menemui kembali.” kilahku berharap Citra mengerti.
“Tidak Mas, aku tidak sanggup harus hidup sendiri tanpa dikau! Cobalah mengeri akan keberadaanku yang sebatang kara. Aku mencintai kamu Mas. Jangan pernah tinggalkan Aku!” teriak Citra.
Cinta, aku sudah bosan kata itu, sudah berapa kali tersakiti oleh pahitnya.
Keinginan ke Negara Timur Tengah tidak dapat kutunda lagi, aku segera mengangkat cover mengacuhkan tangisan dan derita Citra.
Dalam hati aku tidak tega meninggalkan dia, bagaimanapun dia menjadi tanggung jawabku, aku tidak ingin dia menderita penderitaan, untuk itu aku meminta bantuan Arief menjaganya melalui pesan agar Citra dijaga sampai aku balik dari Timur Tengah.
Targetku hanya enam bulan, apapun hasilnya aku akan kembali lagi ke Citra.
***
Dalam perjalanan menuju Bandara Soekarno Hatta, aku berubah fikiran. Niatku dari awal sangat antusias sekali mencari temanku ke Negara Timur Tengah, ternyata nyangkut atau kepikjran akan keberadaan Citra.
Dia sendiri dalam kerasnya hiruk pikuk kota Jakarta. Berjuang dengan tenaganya yang terbatas, mana mungkin ia bisa mengatasi persoalan yang sewaktu waktu datang.
Sekarang waktunya kurang bersahabat. Perkiraan dalam minggu ini, Jakarta akan diterjang banjir besar.
Kemana Citra akan menyelamatkan diri? Tentunya ia hanya bisa menangis, tangisan tidak berdaya ditengah sibuknya orang orang menyelamatkan harta bendanya. Terpaksa aku mengubur dalam dalam keinginan itu, ada sesuatu terasa indah datang seketika menjelajah segenap rakitan jantungku. Rasanya aku takut akan kehilangan Citra.
Selama ini aku terlalu angkuh, tidak mengakui bahwa sesungguhnya aku juga menyayanginya, bukan sejak tinggal satu rumah, melainkan wujudnya ada sejak berpapasan di Stasiuan Kreta Api Pasar Turi Surabaya.
Aku segera berlari mengejar waktu untuk segera sampai di sana, berkumpul lagi sama Citra. Membiarkan sesuatu berarti untuk hari esok, bukan seperti kemarin hanya sebatas teman biasa juga teman serumah.
Sesampainya disana Citra masih telungkup bersama tangisnya diatas ranjang. Kehadiranku rupanya disambut suka cita kembali, dia memelukku dan melesatkan beberapa ciuman di pipi ini.
“Maafkan Aku Citra! Telah membuatmu menangis, kini aku kembali untuk mu!” tegasku.
“Benarkah yang kau ucapkan?” Aku tidak membalas pertanyaannya, sebagai ganti aku melahap bibirnya
13 Februari 2008
Editor : awsnews.id