Surabaya,AWSNews.id - Setelah pintu digedor dengan keras, akhirnya pintu pun terbuka, lalu tampaklah sosok Puspa dari balik daun pintu, wajahnya kelihatan kusut karena baru terbangun dari tidur yang lelap.
Namun alangkah kagetnya Puspa, melihat rupa Rimba yang bermuram durja dengan membawa koper.
Baca Juga: Dari yang Tersisa III (bagian tiga)
Ia menatap rekan kerjanya itu mulai ujung rambut sampai kaki penuh seksama. Tanpa basa-basi Puspa lalu menanyakan apa yang terjadi dengan rekan kerjanya itu.
"Ada apa Mas, kenapa pagi-pagi buta kamu kesini dan membawa cover," tanya Puspa.
Rimba tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepala, melihat ekspresi Rimba yang lesu lantas Puspa menarik lengan Rimba masuk ke dalam rumah.
Puspa menyadari saat ini kondisi Rimba lagi tidak baik-baik saja, dan menduga sedang konflik dengan istrinya, Nita. Sebab, selama kenal dengan dia, tidak pernah membawa perlengkapan sebesar itu. Kendati di tugaskan hingga beberapa Minggu.
Kalau pun tidak bermasalah dengan Nita lantas untuk apa bawa koper besar? Sedangkan dari atasan belum ada rapat koordinasi untuk melaksanakan tugas.
"Coba cerita Mas apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Puspa lagi.
"Aku bertengkar hebat dengan Nita, dia mengusirku dari rumahnya." jawab Rimba.
Mendengar jawaban Rimba, Puspa geram, darahnya mendidih, sebab Puspa menganggap pertengkaran itu pasti di latar belakangi masalah duit.
Puspa tahu Nita selama selalu kurang mesti belanja yang diberikan sangat cukup bahkan berlebih, selalu dibikin Foya-foya bersama temannya. Nongkrong hingga tamasya ke luar kota. Dan itu tanpa memberitahu Rimba.
"Pasti karena duit kan?" mendapat pertanyaan itu, Rimba cuma melirik ke arah Puspa tanpa menjawab.
"Sudah mas, untuk sementara waktu kamu tinggal di sini saja Mas," Lalu Puspa membawa cover yang dibawa Rimba ke kamar belakang, lantas ia ke dapur membikin kopi untuk temannya itu.
Setelah kopi diseduh, Puspa lantas kembali ke ruang tamu menemui Rimba. Sementara Rimba masih bengong, seolah dicengkeram rasa cemas dan tertekan.
Lalu Puspa memberanikan diri merangkul temannya itu, mengelus pundaknya dan membujuknya agar blak blakan menceritakan pertengkarannya dengan Nita. Walau sebenarnya dia seolah-olah mengetahuinya.
Tapi Rimba cuma diam, enggan untuk menceritakan semuanya. Matanya berkaca-kaca menahan air matanya agar tidak tumpah.
Akhirnya setelah beberapa menit Rimba baru bicara.
"Benar Pus, Nita selalu kekurangan duit, padahal aku sudah memberinya berlebih, bahkan aku berikan dia ATM saldonya puluhan juta," kata Rimba sambil memegang kepalanya, dadanya terasa sesak bagai kena ajian kitiran sewu.
"Duit itu, hasil bonus dari kerja ku yang selama ini, emang sengaja aku simpan di rekening lain. Tapi dalam hitungan Minggu duit itu sudah ludes, tak sebanding dengan pekerjaan ku mempertaruhkan jiwa raga untuk membahagiakan Nita." lanjut Rimba
"Sekarang dia minta cerai, dan dia benar-benar serius dengan ancamannya itu." kata Rimba sambil menangis, air matanya pun tumpah tidak sanggup ia bendung lagi.
Sementara Puspa cuma bisa diam, dia ikut larut dalam kesedihan yang dirasakan oleh Rimba.
Puspa lalu teringat kembali akan wejangannya kepada Nita, agar senantiasa hemat, hidup sederhana, menabung dan uang itu digunakan untuk sesuatu bermanfaat.
Sebab pekerjaan dirinya bersama Rimba sewaktu-waktu bisa bubar, dan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji lumayan besar, apalagi sangat besar tidaklah mudah.
Puspa hanya mendesah, membayangkan beban yang dirasakan Rimba. Tapi dia meyakini Rimba bisa melalui tekanan ini, karena sudah tertempa keadaan yang keras.
"Aku tanya Mas, kamu masih sayang sama Nita?" ujar Puspa, sambil menatap wajahnya.
"Iya Pus aku sayang sama dia, tapi aku tidak bisa mengikuti kemauannya yang dibenaknya selalu duit-duit," ujar Rimba.
"Sekarang yang ada dibenak kamu apa mas, ingin mempertahankan Nita, atau meninggalkan dia," tegas Puspa.
Puspa melanjutkan perkataannya.
"Ingat mas, sebanyak apapun duit yang kamu punya, pasti tidak bisa menutupi keserakahan dia, sebab apa, karena semakin dia memegang duit banyak, makin buta daratan. Sekarang tinggal Mas putuskan, bertahan dengan rasa remuk atau menghitamkan semuanya." beber Puspa.
"Bukankah engkau bilang, hidup ini taktis tapi bukan pragmatis. Istri mu tidak tahu diuntung Mas. Maaf Mas, aku tidak ingin mencampuri keluarga mu. Tapi aku tak ingin kau semakin hancur karena dia," ujar Puspa.
Setelah itu, Puspa juga turut menangis, terbawa rasa emosional. Selain itu dia juga teringat pengalaman pahitnya dengan mantan suami pertamanya.
Namun, tangis Puspa tidaklah sepedih tangisan Rimba saat ini. Ia benar-benar hancur, luluh lantak bagai kena reruntuhan bangunan kuno.
"Dulu aku juga merasakan hal yang sama Mas walau alurnya berbeda." kata Puspa di tengah tangisnya.
"Walau kami dikaruniai anak saat itu, tapi aku beranikan diri untuk gugat cerai suamiku, dia selingkuh dan sangat minim menafkahi kami." kata Puspa, air matanya pun makin berlinang membanjiri pipinya yang bening.
Baca Juga: Dari Yang Tersisa IV (bagian IV)
"Aku berani mengambil langkah itu, karena aku berpikir tidak ada mantan anak, yang ada mantan suami atau istri," papar Puspa.
"Dan langkah ku ternyata benar, aku mendapatkan yang lebih baik, meskipun hidup kami tidak begitu lama karena insiden atau kecelakaan," tutur Puspa.
"Mas dengan Nita tidak dikaruniai anak, karena keguguran, harusnya bisa Mas bersikap tegas. Memang awalnya berat meninggalkan orang yang kita sayangi, tapi. untuk apa bertahan, kalau pada akhirnya Mas mengalami luka dan beban yang tak pernah berakhir," lanjut Puspa.
Rimba mencoba mencerna dan memaknai perkataan Puspa, ia mengakui apa yang dibeberkan Puspa tidak salah dan sebenarnya sejalan dengan pikirannya.
Tapi untuk saat ini, dia belum ingin mengambil tindakan itu, ia akan coba bertahan walau jiwa raganya tersayat dan harus bercucuran air mata.
Sebab bagi Rimba, tidak mudah menghitamkan bangunan yang sudah tertanam dengan kokoh. Ia akan mencoba membujuk Nita mempertahankan rumah tangganya.
Pun meminta Nita mengubah pola hidupnya dengan sederhana walau sebenarnya lebih dari itu.
Ia akan mencobanya sekuat tenaga, walau mungkin tak semudah membalikkan telapak tangan.
"Benar apa yang kamu katakan Pus, tapi aku belum bisa memutuskan meninggalkan Nita, aku akan membujuknya sekuat tenaga agar dia berubah." ujar Rimba.
"Tapi menurutku percuma Mas, bukankah hal itu telah engkau lakukan, tapi nyatanya dia tidak berubah," sergah Nita.
Mendengar ucapan Puspa, Rimba diam, jiwanya yang lagi rapuh tidak kuasa membalas ucapan Puspa.
Lalu ia membaringkan tubuhnya di sofa, air matanya pun berjatuhan tidak bisa ia bendung.
Hati Rimba benar-benar sakit, kecewa, tidak menyangka rumah tangganya akan mengalami goncangan yang maha dahsyat.
Padahal ia berharap, hidup bersama Nita menuju kelanggengan dan meningkatkan kualitas hidup, utamanya nilai-nilai spiritual.
Tapi apa daya, harapan itu tidak sejalan dengan yang dibayangkan, dan kehancuran biduk rumah tangganya mulai tampak di depan mata.
Lalu siapa yang tidak bersedih hati, mengucurkan air mata, bila yang sudah ditata sedemikan rupa akan hancur berantakan, ambruk bagai bangunan kuno, karena satu sisi tidak kokoh dan terpengaruh gemerlapnya dunia.
"Istirahat dulu kamu Mas, kau tampak lelah, pikiran dan jiwamu lagi kacau, biar saya temani," ujar Puspa.
Baca Juga: Dari yang Tersisa IV (bagian tiga)
Lalu dia juga membaringkan tubuhnya di samping Rimba dan memeluknya. Tapi Rimba beranjak dan duduk dibibir sofa, ia pun memarahi Puspa.
"Apa apaan kamu Puspa," kata Rimba sambil memegang kening nya, pikirannya tambah kacau karena ulah Puspa.
"Sudahlah Mas, pikiranmu lagi kacau, kau butuh sentuhan dan kehangatan," tutur Puspa, lalu ia merangkul Puspa.
"Iya Pus, tapi aku masih suaminya orang, itu tidak boleh kita lakukan," tegas Rimba.
Puspa tidak menjawab perkataan Rimba, tanpa pikir panjang ia mencium wajah Rimba bertubi-tubi, terakhir ia pun memberanikan diri mengecup bibir Rimba.
Rimba diam tidak bereaksi apapun, walau sebenarnya ia ingin menghajar Puspa.
Tapi niatnya ia urungkan, karena Puspa adalah satu-satunya temannya yang selama ini selalu membantu dia.
Akhirnya Rimba meneguk air putih di atas meja, kemudian menatap Puspa dalam-dalam.
Dia berpikir apakah Puspa selama ini memendam rasa untuknya, sebab perhatiannya tidak kalah dengan Nita. Bahkan pengorbanannya melebihi istrinya itu.
Lalu dia menepuk menepuk Nita.
"Puas.....," kata Rimba
"Belum, karena aku belum memelukmu," harap Puspa.
"Tak kan kubiarkan itu, selama aku masih menjadi suaminya Nita," tegas Rimba.
"Iya sudah, saya tunggu sampai kalian pisah" ujar Puspa, tersenyum.
"Puspa..." bentak Rimba, kemudian Rimba menuju belakang untuk istirahat.
Puspa cuma tersenyum, lantas ia mengikuti Rimba, sesampainya di dalam kamar, ia menyerahkan selimut.
Setalah itu dia mengucapkan selamat bobok, sementara Rimba apatis.
Agustus 2017
Editor : awsnews.id