Dari yang Tersisa II (Puspa bagian II)

author Roy Arudam

- Pewarta

Selasa, 18 Jun 2024 23:41 WIB

Dari yang Tersisa II (Puspa bagian II)

i

Ilustrasi, sumber foto Quora

Surabaya, AWSNews.id - Jam 10 pagi Rimba terbangun dari tidurnya,  ia mulai menyibak selimut, lalu duduk di bibir tempat pembaringan. Setelah beberapa menit ia melangkah ke arah meja, menuangkan air putih ke dalam gelas lalu meneguknya.

Kemudian, menyulut rokoknya hingga habis dua batang, sementara pikirannya masih dihantui bayang-bayang kehancuran rumah tangga nya yang sudah mulai goyah. 

Baca Juga: Dari yang Tersisa III (bagian tiga)

Hati Rimba sangat sedih, air matanya juga bercucuran hingga pipi nya basah. Dalam lubuk hatinya ia begitu mencintai dan menyayangi Nita. Namun di sisi lain, ia juga ingin bersikap dan siap untuk meninggalkan Nita dengan konsekuensi apapun. 

Tetapi, ia tidak akan gegabah, ia akan minta pertimbangan Wanda, rekan kerjanya yang selama ini sering menjadi teman diskusi selain Puspa. 

Wanda sikapnya sangat dingin, jutek tapi solidaritasnya sangat kuat, Wanda dan Rimba sebelum Puspa bergabung, sering mendapatkan tugas bersama ke beberapa daerah. 

Baru setelah menikah, Wanda menempati posisi baru di bagian belakang meja. Berbeda dengan Rimba yang tetap ditugaskan di lapangan, karena diketahui menikah di bawah tangan.

Selama menjalankan tugas bersama, keduanya tidak pernah macam-macam, walau satu kamar di dalam hotel..

Saat dapat tugas bersama, Wanda berani mengambil risiko, berpakaian seksi bahkan mabuk di tempat hiburan malam hingga pulang nya harus di papah oleh Rimba

Kenekatan Wanda ini di latar belakangi keinginannya mendekati target dan memantau nya lebih dekat. Sementara Rimba mengawasi dan siap siaga bila terjadi sesuatu dengan Wanda. 

                                    ***

Usai Rimba menghabiskan lima batang kretek, Puspa datang mengetuk dan membuka pintu, ia memberikan senyuman hangat kepada suaminya Nita itu. 

Kemudian ia melangkah mendekat dan duduk di sampingnya. Puspa meminta Rimba membersihkan badannya ke kamar mandi dan menikmati kopi hitam di ruang tamu.

Puspa lalu berusaha membuka kaos Rimba, namun Rimba menolak nya sambil melotot ke wajah rekan kerjanya itu.

"Apa-apaan kamu Pus, aku bisa membukanya sendiri" ketus Rimba.

"Biar kamu cepat mandi," jawab Puspa manja.

"Jangan Pus, jangan memanfaatkan keadaan ku yang lagi rapuh, aku masih waras Pus," tutur Rimba

"Gitu aja marah, ya udah saya tunggu di ruang tamu," ucap Puspa. 

Lalu Puspa kembali melancarkan ciumannya ke bibir Rimba setelah itu dia melangkah ke ruang tamu. 

Sementara Rimba cuma bisa menggelengkan kepala, ia tidak mengerti dengan sikap Puspa yang sudah mulai berani menyentuhnya. 

Padahal sebelumnya dia tidak pernah berani bertindak seperti itu,  sekalipun harus istirahat berduaan di kamar hotel.

Tanpa pikir panjang, dia melangkah ke depan cermin sambil menyisir rambutnya, kemudian membuka kaosnya. 

Sejenak mata rimba terbelalak melihat kissmark di bagian tubuhnya.

Rimba kemudian berteriak memanggil Puspa. Namun teriakan itu tidak terdengar oleh Puspa karena sedang mendengarkan music melalui headset. 

Akhirnya Rimba menuju ke ruang tamu dan langsung duduk di sebelah Puspa, Puspa kaget melihat wajah Rimba yang tidak bersahabat. 

Dengan tangan gemetar ia meletakkan HP nya ke meja dan hanya menunduk pasrah.

Namun sebelum Rimba melontarkan cecaran, tiba-tiba pintu diketuk seseorang lalu masuklah Wanda dengan mengucapkan salam.

Tapi betapa terkejutnya Wanda saat melihat Rimba yang telanjang dada, dan melihat sebagian tubuhnya masih terdapat kissmark. 

Lantas Wanda  pun melancarkan cecaran untuk kedua rekan kerjanya itu.

"Eh, apa yang kalian lakukan? " tanya Wanda

"Kau Rimba bukankah kau punya istri dan bisa begitu, bukankah selama ini kau tak pernah neko-neko," tanya Wanda Bingung.

Rimba mendesah, ia tidak langsung menjawab pertanyaan Wanda, ia masih berpikir harus memberi jawaban apa? Ia tidak ingin menyudutkan Puspa walau sebenarnya tindakannya salah.

Setalah beberapa saat, akhirnya Rimba buka suara kenapa di sebagian tubuhnya terdapat kissmark. 

Mendengar penjelasan Rimba, Wanda termenung, ia sudah mendengar bila biduk rumah tangga teman kerjanya sedang terkena badai. 

Namun ia seolah tidak tahu, menganggapnya isu belaka karena tidak mendengar langsung dari tuturan Rimba.

Lantas, Wanda memalingkan wajahnya ke arah Puspa, ia tampak geram ingin memberi pelajaran karena tindakannya yang menjijikkan itu. 

"Benar yang dikatakan Rimba, jawab dengan jujur kalau kau menganggap aku sebagai saudara mu," kata Wanda

"Iya benar...," kata Puspa sambil menangis. 

"Apa kau sadar, Rimba ini masih suaminya orang, walau sekarang tidak harmonis, apa jadinya bila istrinya datang kesini dan melihat banyak bercak merah di tubuhnya."

"Mungkin saja kau akan dihajar habis-habisan," ucapnya. 

"Dan kau Puspa, Kau tidak pantas disebut pendekar bila kau hanya memanfaatkan orang sedang rapuh," tegas Wanda.

Mendengar ceceran Wanda, Puspa cuma diam, ia tidak berani menatap wajahnya. 

Sementara Wanda masih berpikir, kenapa Puspa nekat melakukan hal itu. Ia terus mengomeli Puspa di tengah isak tangisnya. 

Sedangkan Rimba hanya apatis, mendengarkan omelan Wanda, ia berpikir  kelanjutan hubungan rumah tangganya dengan Nita. 

Namun, pada akhirnya dia tidak tega melihat Puspa yang terus dihardik dan dicecar oleh Wanda. Kemudian menyela dan meminta  Wanda berhenti menghakimi Puspa. 

"Sudah Wan, jangan cecar Puspa, saya sudah memaafkan dia, mungkin dia khilaf," tutur Rimba.

Akhirnya Rimba meninggalkan ruang tamu, menuju kamar mandi untuk membersihkan sekujur tubuhnya. 

Usai itu, Wanda mendekat ke arah Puspa. Tapi Puspa acuh, ia masih tidak terima  mendapatkan cecaran ceceran bertubi-tubi.

"Enggak usah ngambek, aku menghardik mu demi kebaikan bersama. Coba jujur, kamu mempunyai rasa sama Rimba?" tanya Wanda. 

Puspa tidak mengeluarkan sepatah kata, dia cuma mengangguk. 

"Tapi dia masih suaminya orang," tutur Wanda.

"Iya aku tahu mbak," jawab Puspa dongkol.

"Kenapa kau lakukan itu," tanya Wanda lagi.

"Karena aku yakin hidup bersama dia, dan kita akan hidup tentram, bahagia walau serba kecukupan," kata Puspa. 

"Begitu optimis dirimu," sergah Wanda.

"Iya, aku yakin Mas Rimba bakalan pisah sama Nita, makanya mau nekat, walau tidak sejauh itu." jelas Puspa.

Wanda manggut-manggut mendengar suara tulus yang dihembuskan oleh Puspa. Lalu ia menepuk bahu Puspa. 

"Aku mendukungmu dan akan membantu sekuat tenaga rencanamu. Asalkan Rimba benar-benar pisah dengan istrinya. Sekarang sisihkan dulu itu, kita ke Puncak, ada tugas menanti kita. Kita bedah bersama-sama, kita bertiga, nanti yang lain menyusul," urai Wanda.

                                    ***

Baca Juga: Dari Yang Tersisa IV (bagian IV)

Sampai di Puncak mereka segera menyewa Villa, ketiganya berkumpul di ruang tamu sambil menikmati makanan ringan dan minuman kesukaan mereka masing masing. 

Sementara Rimba tampak gundah, wajahnya bermuram durja, menunduk sambil memegang keningnya. Sesekali ia menatap HP nya, berharap ada telpon atau chat dari Nita. 

Rimba sudah menghubungi berkali-kali, tapi nomer Nita tidak aktif. Selalu berada diluar jangkauan, akhirnya dia cuma pasrah. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke kamar dan merebahkan badannya. 

Melihat Rimba ke dalam kamar, Puspa hendak menyusulnya, tapi Wanda mencegahnya, dan menyuruhnya duduk di tempat. 

"Biarkan dia istirahat dulu, setelah dia tenang kita ajak diskusi bareng untuk menyelesaikan masalah rumah tangganya." kata Wanda.

Puspa menuruti keinginan Wanda, ia duduk di sebelahnya sambil membaca cerita detektif dalam mengungkapkan kasus besar, setelah itu mereka berdiskusi. 

Tak berselang lama, Wanda menerima telpon dari atasannya, mengabarkan pertemuan dibatalkan karena pimpinan tidak cocok harga dengan klien. Dan mereka dibebaskan beberapa hari liburan di Puncak.

Wanda lalu bilang ke Puspa dirinya akan mandi. Namun, dia mengingatkan jangan menggangu Rimba yang lagi menenangkan diri. 

Bahkan Wanda mengancam Puspa akan memulangkannya secara paksa. 

Namun, saat Wanda di dalam kamar mandi, dia nekat menyelinap menemui Rimba, mendapati Rimba sedang tidur pulas. Puspa mencium wajah Rimba berkali-kali, bahkan dia berani memeluknya kembali. 

Tapi, dia cepat buru-buru keluar kamar  lantaran takut ketahuan Wanda. Sebab, dia tegas memberikan sanksi dan tak kenal kompromi bila ada anak buahnya tidak disiplin. 

Namun, diluar tugas Wanda memposisikan sebagai saudara, bercanda ria bahkan kerap kali jahil sama mereka, utamanya Puspa yang sering dikerjain. 

Sebelum keluar dari kamar, Puspa melihat suasana sebentar, merasa aman lantas ia bergegas ke tempat kursi di ruang tamu. Di situ dia pura-pura tidur. Dan pada akhirnya Puspa tertidur pulas juga.

                                   ***

Setelah Isyak, Rimba baru bangun dari tidurnya, pikirannya masih kacau, terus memikirkan nasib rumah tangganya dengan Nita hari ini, esok dan selanjutnya. 

Lalu ia melangkahkan kakinya keluar kamar, ingin mengguyur seluruh tubuhnya biar segar. Dan bersiap-siap rapat dengan teman-temannya. 

Ia berpikir, saat ini semuanya sudah berkumpul. Akan tetapi ketika nengok ke ruang tamu, cuma ada Wanda dan Puspa yang sedang tidur pulas.

Usai mandi, Rimba menuju ruang tamu menemui Wanda dengan wajahnya tampak suram. Wanda menjelaskan bahwa rapat dibatalkan karena tugas yang akan dijalankan diperkirakan enam bulan lagi. 

Akhirnya Wanda mengajak Rimba ke serambi depan, berdiskusi tentang masalah keluarganya. Kendati sebenarnya ia tidak ingin mencampurinya. Tapi dia tidak ingin Rimba semakin berdarah, karena problematika yang dihadapinya itu. 

"Sebenarnya aku sudah mendengar sejak lama, bila keluarga mu tidak baik baik saja. Tapi saya anggap dongeng, karena engkau tidak pernah cerita. Sebenarnya sih aku ingin menanyakan langsung, tapi aku takut kamu tidak senang,  karena selama ini kita saling menjaga privasi masing-masing." kata Wanda. 

"Iya Wan, sebenarnya aku ingin minta masukan dari kamu. Tapi aku menganggap belum waktunya, mungkin saat ini yang paling tepat. Karena rumah tanggaku benar-benar sudah di ujung tanduk," terang Rimba.

Sejenak, Wanda memandang Rimba, ia merasa iba, menyaksikan wajah sahabatnya yang tampak kusut. Dia juga merasakan betapa pedihnya dan sakitnya hati Rimba saat ini. 

Mungkin kata Wanda, sakitnya melibihi irisan silet yang menyayat tubuh. Tapi ia yakin Rimba bisa melewatinya bahkan sanggup berdiri kendati rumah tangganya akan hancur luluh lantak.

"Saya kira Puspa sudah memberikan masukan yang banyak. Dan itu masuk akal, aku sepakat. Dia sudah cerita, bahwa kamu istrimu mendesak untuk diceraikan, sekarang tinggal kamu harus berani bersikap." ujar Wanda. 

"Ini demi kebaikan mu, ketentraman batinmu, bukankah kamu sudah menasihati berkali-kali tapi tetap saja tidak berubah. Apakah kamu akan bertahan? Sedangkan jiwamu tidak tentram, tertekan dan memaksakan bahagia walau sebenarnya perasaanmu selalu tercabik-cabik dan berdarah," tutur Wanda. 

"Kondisimu saat ini ibaratkan orang yang butuh pertolongan, butuh seseorang yang tepat, agar mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman, cuma kamu tidak sadar, ada seseorang yang siap menerimamu dan dia selalu hadir dengan ketulusan," sambung Wanda. 

Mendengar tuturan Wanda, Rimba manggut-manggut. Namun, ia tetap bersikukuh agar hubungan nya dengan Nita tetap bertahan. 

Ia akan mencoba berkomunikasi kembali dengan Nita secara baik-baik, mempertahankan biduk rumah tangganya yang hampir karam. 

"Tapi aku juga sepakat dengan kamu, yang masih berusaha bertahan dan mengajak pasanganmu komitmen untuk menata rumah tangga lebih baik ke depannya." 

Baca Juga: Dari yang Tersisa IV (bagian tiga)

"Mungkin dua hari setelah pulang dari tempat ini, kamu temui Nita di rumahnya, bangun komunikasi lagi. Barangkali dia sadar dan punya niat memperbaiki segalanya," urai Wanda.

"Iya Wan, habis dari sini aku akan temui Nita, dan aku sudah siap bila harus berpisah dengan dia," ujar dia.

"Iya harus begitu, harus berani mengambil sikap, untuk apa mempertahankan semuanya, bila dia tidak pernah mau berubah," kata Puspa menyela, dia tanpa disadari sudah berdiri di dekat Rimba. 

Rupanya, Puspa sejak awal telah menguping pembicaraan mereka di balik daun pintu, namun keduanya tidak ada yang menyadari. Kemudian setelah ada kesempatan dia baru langsung berbicara.

"Puspa kau ngomong apa? Tak usah ikut campur pembicaraan ini," sergah Wanda.

"Masuk ke dalam, lanjutkan tidurmu!" bentak Wanda. 

Mendengarkan ucapan Wanda yang sarkas, Puspa cemberut, ada rasa mangkel di hatinya. Tapi dia tidak beranjak tetap berdiri di dekat Rimba. 

Sementara Wanda menatap tajam ke arah Puspa, wajahnya menunjukkan ekspresi yang tidak menyenangkan. 

Dia berpikir, memberikan masukan kepada Rimba tidak dengan cara begitu, menghardik, namun butuh kata yang lemah lembut, agar pikiran Rimba lebih tenang dan bisa mengambil sikap.

Hal ini beda dengan Puspa yang Wanda kenal, dia sopan, ramah, lemah lembut, welas asih kepada sesama. Tetapi saat ini sikap nya hilang. 

Wanda berdiri dari tempat duduknya, hendak memaksa Puspa masuk ke ruang tamu akan tetapi Rimba mencegahnya. 

"Sudah Wan, aku juga butuh masukan dari Puspa, dia teman diskusiku dan selalu ada disaat aku butuhkan," ujar Rimba. 

Mendengar ucapan Rimba, Wanda tersenyum lalu menepuk bahu Puspa, mengambilkan kursi dan menyuruh duduk di dekat Rimba. 

Puspa akhirnya merasa lega, lalu dia mengambil air putih meneguknya. Lantas ia melirik Rimba di sampingnya. 

"Puspa...," kata Wanda

"Iya Mbak," jawabnya.

"Ada masukan lagi buat Rimba." tanya Wanda. 

Puspa terdiam sejenak, kemudian dia mulai bicara. 

"Masukan saya tetap sama Mbak,  Mas Rimba bagus berani mengambil sikap, bukan bertahan, tapi harus meninggalkan dia. Istrinya selalu buat kesalahan berulang kali. Mungkin satu atau bahkan tiga kali bisa dimaklumi." kata Puspa.

"Jadi untuk apa bertahan, bila pedih dan perih yang dirasakan. Mas Rimba harus berani melakukan itu, karena aku yakin mas Rimba bakal menemukan sosok yang lebih baik." tutur Puspa.

Sejenak suasana jadi hening, ketiga orang itu sama sama diam, tidak ada interaksi antar untuk beberapa saat. 

Sementara, Rimba berpikir masukan kedua sahabatnya dianggap sangat berarti dan menjadi penyemangat untuk siap berpisah dengan Nita. Utamanya berkaca pada pengalaman pahit Puspa. 

Puspa saat itu berani mengambil tindakan, menggugat cerai suaminya karena minim menafkahi dan terkesan menelantarkan bersama anaknya. Sementara suaminya lebih memprioritaskan istri keduanya. 

Bagi Puspa bertahan atas nama anak dan berpura-pura bahagia menunjukkan kepalsuan. Menyiksa batin dan makin tak dianggap oleh suaminya. 

Toh, beber Puspa tidak ada yang namanya mantan anak. Dan kalaupun dia peduli dengan Puspa dan anaknya, mantan suaminya tidak akan melakukan hal itu. 

"Terimakasih Pus, kau bukan hanya sekedar rekan kerjaku, tapi setiap aku butuhkan engkau selalu hadir, menghiburku, menyemangati ku, dan aku sadari pengorbanan mu sangatlah besar, terutama waktu mu yang selalu siap saat aku membutuhkan mu," beber Rimba.

Usai bicara, Rimba kemudian menggenggam erat tangan Puspa. Menatap wajahnya penuh arti, sementara Puspa hanya tertunduk, tidak kuasa memandang balik wajah Rimba yang berada di dekatnya.

Agustus 2017

Editor : awsnews.id

BERITA TERBARU