SURABAYA | ARTIK.ID - Sebagai alternatif pembiayaan di daerah, kebijakan penerbitan obligasi daerah yang hampir rampung dirancang pemerintah sebagai tindak lanjut UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah mendapat dukungan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.
Namun LaNyalla mengingatkan, penerbitan surat utang daerah tersebut harus ketat dan terukur. Ia meminta Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi koridor dan rambu yang ketat. Jangan sampai nafsu besar daerah menerbitkan surat utang, malah menjadi malapetaka fiskal daerah. Seperti sudah terjadi di beberapa negara lain.
Baca juga: Banjir dan Lahar Dingin di Sumbar, Update Terbaru Korban Meninggal 43 Orang
“Sebagai alternatif pembiayaan saya pikir positif. Karena pembiayaan ini bersumber dari domestic idle money. Sekaligus mengubah perilaku masyarakat dari savings-oriented society menuju investment-oriented society. Tetapi harus ketat dan terukur. Tidak bisa pukul rata, karena tidak semua pemda sama kekuatan fiskalnya,” tandas LaNyalla, Jumat (19/4/2024).
Ditambahkan LaNyalla, yang harus diukur secara ketat adalah apakah proyek yang akan dibangun dengan penerbitan surat utang memiliki return of investment yang memenuhi syarat. Mengingat kebanyakan proyek yang akan didanai melalui obligasi ini justru tidak diminati investor langsung.
“Jadi jangan sampai justru paradok. Karena tidak diminati melalui skema direct investor, lalu dibiayai melalui penerbitan surat utang. Kan malah menimbulkan pertanyaan. Karena investor langsung pasti menghitung sebelum memutuskan untuk investasi. Jadi harus terukur juga,” tukas mantan Ketua Umum KADIN Jawa Timur itu.
Baca juga: Siswa MIN 4 Jembrana Mengukir Prestasi dengan Meraih Juara Favorit Pildacil Se Provinsi Bali
Persoalan berikut yang harus diperhatikan dengan serius adalah kemampuan daerah di sektor fiskal dan sumber daya manusia untuk mengelola dana publik yang nilainya bisa triliunan rupiah tersebut. “Apalagi kalau kita lihat data di BPK, masih banyak daerah yang memiliki catatan dan persoalan di sektor tata kelola keuangan. Belum lagi persoalan moral hazard dan perilaku koruptif,” imbuhnya.
LaNyalla juga mengingatkan jangan sampai hal-hal tersebut bermuara kepada terjadinya gagal bayar. Mengingat sudah ada beberapa contoh Pemerintah Daerah di China dan Negara Bagian di Amerika Serikat yang mengalami gagal bayar obligasi daerah.
Baca juga: Pembangunan Kantor Perwakilan DPD RI Jatim, Terobosan di Tengah Moratorium Menteri Keuangan
(*)
Artikel ini telah tayang sebelumnya di artik.id dengan judul "Ketua DPD RI Dukung Obligasi Daerah dengan Syarat Harus Ketat dan Terukur". lihat harikel asli disini
Editor : Redaksi