JAKARTA | ARTIK.ID - Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk memulihkan ekonomi nasional sejak usainya pandemi Covid-19. Namun, tantangan yang dihadapi tidak mudah, karena banyak perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dan harus mengajukan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
Senior Partner dan Head of the Dispute Resolution and Restructuring & Insolvency Practice Groups HHP Law Firm, Andi Y. Kadir menjelaskan, bahwa masalah PKPU dan kepailitan tidak hanya berkaitan dengan hukum, tetapi juga dengan ekonomi.
“Dalam proses restrukturisasi utang, kita tidak hanya perlu melihat apakah infrastrukturnya [UU No. 37/2004] sudah cukup baik atau belum, tetapi juga bagaimana recovery rate bagi kreditur dan perusahaan [debitur] yang menjalani proses PKPU apakah sudah menjadi perusahaan yang sehat atau masih menjadi zombie company,” kata Kadir, dalam siaran pers.
Baca Juga: Banjir dan Lahar Dingin di Sumbar, Update Terbaru Korban Meninggal 43 Orang
Kadir menambahkan, saat ini penerapan Undang-Undang PKPU dan Kepailitan (UU No. 37/2004) masih kurang konsisten. Hal ini menyebabkan proses restrukturisasi utang berlangsung lama dan tingkat recovery rate masih rendah, sehingga cost of financing di Indonesia menjadi lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara lain.
“Cost financing yang lebih mahal ini pada akhirnya justru menghambat pemulihan ekonomi,” tegas Kadir.
Baca Juga: Siswa MIN 4 Jembrana Mengukir Prestasi dengan Meraih Juara Favorit Pildacil Se Provinsi Bali
Selain itu, Kadir juga mengkritik implementasi klausul arbitrase yang seringkali mengabaikan kewenangan pengadilan niaga, untuk meninjau perjanjian kredit yang tunduk pada hukum asing.
“Ini sebenarnya tidak baik untuk perkembangan hukum Indonesia,” pungkasnya.
Baca Juga: Pembangunan Kantor Perwakilan DPD RI Jatim, Terobosan di Tengah Moratorium Menteri Keuangan
(ara)
Artikel ini telah tayang sebelumnya di artik.id dengan judul "Kepailitan Banyak Perusahaan di Indonesia Membayangi Pemulihan Ekonomi Nasional". lihat harikel asli disini
Editor : Redaksi