SURABAYA I rakyatjelata.com- Berada di tengah situasi politik saat ini, rakyat kecil seperti tercekik lehernya dalam menghadapi tingginya harga bahan pokok sejak beberapa bulan terakhir.
Harga sejumlah komoditas pangan di pasar yang ada di Surabaya melambung tinggi seiring panasnya situasi politik dalam negeri.
Baca Juga: Asrilia Kurniati Maju Pilwali Surabaya Lewat Jalur Independen, Begini Program Ekonominya
Kondisi ini sebetulnya sudah diingatkan oleh para ekonom sejak awal tahun. Mereka sudah memperkirakan lonjakan harga pangan menjelang tahun politik ini.
Hal ini terbukti. Para pedagang kaki lima turut merasakan imbasnya. Kondisi ini menuntut mereka harus "memutar otak" agar dagangan mereka tetap laku dengan harga yang masih terjangkau.
Widya seorang ibu rumah tangga yang juga menerima pesanan kue (45) merasa kebingungan. Harga bahan baku sudah naik. Ia terpaksa berdiam sementara sambil berharap harga bisa stabil kembali.
“Saya beli gula saat ini sudah mencapai harga Rp 17.000 per kilo nya, Biasanya harganya Rp 13.000 satu Kilo, ini jadi Rp 17.000,” kata Widya saat diwawancarai awak media rakyatjelata.com Rabu (20/11/2023).
Begitu juga dengan pedagang gorengan, Sugik (49). Dia mengeluhkan harga cabai rawit yang melonjak hingga Rp 70.000-75.000 per kilogram di Pasar.
"Mahal banget, sudah beberapa minggu. Makanya saya sekarang tanya dulu, mau pakai cabai atau enggak. Kalau saya kasih ternyata dia enggak makan kan, sayang. Uang itu,” ungkap Sugik.
Selain itu, kata Sugik harga sayuran juga naik sekitar Rp 2.000-3.000. Hal itu membuat Sugik bingung untuk menaikkan harga gorengannya.
Hal senada dirasakan pedagang lontong sayur di jakarta. Pria ini bernama Hasanudin (20). Ia merasakan harga beras melonjak dari Rp 14.000-15.000 menjadi hingga Rp 18.000 per kilogram.
Kendati demikian, Hasanudin pasrah dengan harga yang naik. Dia juga tidak ingin menaikkan harga jualannya. Sebab, dia ingin mempertahankan langganan.
Ketiganya berharap harga pangan bisa kembali normal agar meringankan beban ekonomi mereka.
"Zaman sekarang susah, jangan dibuat tambah susah lah," timpal Sugik.
Pasar juga cenderung sepi
Tingginya harga bahan pokok berimbas pada sepinya pengunjung pasar tradisional, misalnya di Pasar Koja Baru, Jakarta Utara.
Menurut salah satu pedagang bernama Budi (37), hal tersebut karena harga pangan di Pasar Koja Baru yang tidak stabil sejak enam bulan terakhir.
"Daya beli, untuk harga ini tidak stabil, jelas menurun, enggak mungkin enggak. Semua tempat kayaknya jelas menurun. Karena harga enggak menentu," kata Budi
"Baik itu bawang, cabai, dan lain-lain. Jadi, untuk yang akan datang, tolong distabilkan, supaya daya beli masyarakat juga bisa meningkat lah," kata Budi
Berdasarkan Info Pangan Jakarta, harga sejumlah komoditas pangan memang masih mengalami kenaikan. Harga cabai merah keriting misalnya, rata-rata sudah menembus Rp52.833 per kilogram (kg).
Baca Juga: Spucak Batu Sejuta Pohon Untuk Catcment Area Kota Batu
Kemudian, harga rata-rata cabai rawit merah dan cabai rawit hijau masing-masing sudah menembus Rp70.209 per kg dan Rp55.750 per kg. Harga telur ayam ras juga masih Rp26.476 per kg.
Tuntutan kestabilan harga pangan
Budi memiliki harapan terhadap pemimpin Indonesia yang nantinya terpilih dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) mendatang.
Seperti diketahui, tiga pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden sudah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu lalu.
Budi hanya ingin presiden saat ini bisa menstabilkan harga pangan dan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia.
"Untuk Presiden Jokowi sudahlah pak, jangan ikut ikutan ngurusi pilpres, nasib rakyat ini lo bagaimana, jangan di terlantarkan seperti ini." Keluhnya.
Jika harga-harga tersebut stabil, menurut dia, bisa meningkatkan kembali daya beli masyarakat di pasar-pasar tradisional.
Ancaman di tengah pemilu
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, kenaikan harga pangan merupakan ancaman terbesar bagi masyarakat menjelang Pemilu 2024.
Sejauh ini, Bhima menilai visi misi calon persiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres) 2024 masih sangat normatif, terlebih soal masalah pangan ini. Ia berharap program dan aksi mereka bisa lebih kongkrit dan terukur.
"Kalau perlu janji kampanye 100 hari pertama jika terpilih bisa turunkan harga beras kembali ke 2022, dengan catatan petani tetap untung," ucap Bhima kepada Kompas.com, Senin (23/10/2023).
Baca Juga: FPN Bersama Wali Kota Batu, Audensi Bahas Program SPUNCAK BATU
Artinya, kata dia, pemerintah perlu memberikan tambahan subsidi pupuk, pengaturan harga bahan bakar, hingga mendorong daya beli masyarakat lebih tinggi.
Bhima berujar, dalam berbagai survei menunjukkan sebagian besar pemilih mengeluh soal mahalnya harga pangan yang disusul dengan masalah lapangan kerja.
"Biaya pengangkutan beras naik menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pupuk non-subsidi juga mahal, ada faktor cuaca ekstrem," ucap Bhima.
Belum lagi, kata dia, ada ancaman pelemahan kurs rupiah menimbulkan inflasi barang-barang dari luar negeri (imported inflation) karena sebagian pangan dalam negeri merupakan impor.
"Di sisi lain, pendapatan masyarakat khususnya menengah ke bawah makin tidak mampu mengimbangi kenaikan harga pangan," ucap Bhima.
Dalam situasi ini, kata Bhima, pemerintah dinilai lamban mengatasi masalah pangan. Hal ini membuat impor pangan menjadi salah solusinya.
Dengan demikian, Bhima berujar topik utama Pemilu 2024 yang paling ingin didengar masyarakat adalah solusi soal ketersediaan dan stabilitas harga pangan.
"Masing-masing kandidat capres perlu mendorong terus solusi-solusi aplikatif, tidak sekedar jargon pangan murah," ucap Bhima.(Ki/Red)
Artikel ini telah tayang sebelumnya di rakyatjelata.com dengan judul "Jeritan Rakyat Kecil Berada di Situasi Politik: Tingginya Harga Bahan Pokok Mencekik Para Pedagang Kecil.". lihat harikel asli disini
Editor : Redaksi